PILKADA DAN ANCAMAN DEMOKRASI

Senin, 14 April 2008


Belakangan kita sering disuguhi kabar tentang konflik pasca Pilkada di berbagai daerah. Konflik pasca Pilkada ternyata tidak hanya terjadi antara Bupati atau Gubernur baru dengan calon lain yang gagal. Tetapi sudah membawa masyarakat yang tidak berkepentingan langsung, masuk ke dalam konflik tersebut. Parahnya lagi, konflik interest elit politik tersebut memakan korban serta mengakibatkan rusaknya berbagai fasilitas umum yang dibiayai oleh anggaran negara. Tak ayal anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah semakin besar, karena ditambah biaya perbaikan fasilitas-fasilitas umum yang menjadi sasaran konflik.
Dari sini kita bisa menilai, bahwa politik atau kekuasaan memiliki daya pikat yang sangat besar terhadap masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan juga dengan jumlah anggaran yang dikeluarkan oleh seorang calon Bupati dalam sebuah Pilkada. Konon anggaran yang disiapkan seorang kandidat Bupati bisa mencapai angka 10 milyar. Sedangkan anggaran yang dipersiapkan untuk memenangkan Pilgub (Pemilihan gubernur), tinggal dikalikan dengan jumlah Kabupaten yang ada di wilayah propinsi tersebut. Sehingga bisa jadi penyebab utama terjadinya konflik pasca Pilkada adalah faktor besarnya anggaran yang dikeluarkan seorang calon. Alhasil gugat menggugat hasil Pilkada dan intitusi KPU pun seakan menjadi agenda rutin.
Jawa Tengah nampaknya ada tren baru, propinsi yang sedang mempersiapkan diri menghadapi hajatan politik (Pilgub) pada tanggal 22 Juni 2008 mendatang. Tren baru tersebut adalah maraknya operasi penertiban gambar calon-calon gubernur di beberapa Kabupaten dan Kota. Dengan berbagai alasan, pemerintah daerah setempat tidak ingin ada “hiasan baru” berdesakan di wilayahnya. Kebijakan ini berbeda dengan kebijakan pada saat Pilkada berlangsung di daerah tersebut. Sudut-sudut kota penuh dengan gambar para calon Bupati atau Wali Kota, termasuk gambar mereka yang mengeluarkan kebijakan penertiban.
Pilkada dan Pilgub memang akrab dengan ketidakjelasan peraturan, kesemrawutan, money politic, hingga kerusuhan. Kondisi demikian nampaknya memunculkan pemikiran untuk menggunakan kembali sistem lama. Dimana Bupati dan Gubernur dipilih oleh wakil rakyat yang duduk di legislatif. Selain hemat biaya, sistem lama dianggap bisa mengurangi pengeluaran pemerintah atau digunakan untuk program lain. Sistem lama pun seolah memberikan rasa aman, sekaligus mengurangi kerja-kerja lapangan melelahkan yang jarang dilakukan oleh bupati atau gebernur dengan biaya pribadi.

Menyempurnakan Sistem Pilihan langsung
Sistem lama sepintas memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat dan pemerintah. Akan tetapi jika kita amati, penggunaan sistem lama merupakan indikasi kemunduran proses demokratisasi di Indonesia. Sejarah lama akan terulang, dimana rakyat kembali dipimpin oleh figur yang tidak mereka kenal. Elit politik terutama yang duduk di legislatif akan mendapat “jatah lebih” dari para calon kepala daerah. Politik kembali lagi menjadi urusan kalangan elit dimana rakyat tidak perlu tahu.
Selain itu, Partai politik akan kehilangan fungsinya dalam memberikan pendidikan politik pada konstituennya dan kembali menjadi sekedar mesin pendulang suara lima tahunan. Padahal semestinya partai politik dan anggota partai di legislatif tidak hanya bertugas mensukseskan partai dan anggotanya saja. Fungsi lain yang lebih penting adalah menjadi corong aspirasi konstiuen dan masyarakat pada kebijakan pemerintah, memberikan pendidikan politik, sekaligus mengawasi jalannya pembangunan. Walau pada kenyataannya di Indonesia, kerja partai politik belum optimal dalam menjalankan fungsi-fungsi partai. Akan tetapi, pilihan kembali pada sistem lama tentu saja akan memotong seluruh fungsi partai politik tersebut.
Sistem lama pun tidak memberikan jaminan Bupati atau Gebernur merupakan orang yang bersih dan mengerti kondisi rakyatnya. Tidak ada jaminan pula yang terpilih KKN-nya lebih sedikit dibandingkan pilihan masyarakat langsung. Bahkan bisa jadi sebaliknya, karena ia merasa pertanggungjawabannya hanya pada legislatif saja. Incumbent bisa dengan mudah terpilih kembali asalkan memiliki banyak uang dan tawar menawar di tingkat fraksi selesai. Faktor popularitas dan kepercayaan publik tidak akan menjadi bahan pertimbangan dalam memilih pemimpin daerah. Setidaknya kekurangan-kekurangan inilah yang kita rasakan semasa menggunakan sistem lama.
Politik memang sering berubah bentuk, dari sebuah sarana mewujudkan “kondisi terbaik” bagi seluruh rakyat, menjadi hanya sekedar pertarungan memperebutkan kekayaan, kekuasaan dan jabatan. Sisi gelap dari sebuah proses politik, yang tentu saja kita rasakan keberadaannya sekarang. Dalam konteks ini tindakan yang mestinya dilakukan adalah memperbaiki sistem dan mekanisme politik yang sedang berjalan di Indonesia.
Untuk sampai ke arah itu, pemerintah bisa memulainya dengan transparansi anggaran yang dipersiapkan oleh seorang calon, sebagaimana yang dilakukan Amerika Serikat. Seluruh masyarakat Amerika bisa mengakses informasi mengenai jumlah kekayaan, dana yang dipersiapkan dalam pemilihan, dari mana asalnya, siapa yang menyumbang, bahkan berapa jumlah hutang sang calon. Dari sini kemudian dapat diprediksi arah kebijakan pembangunan yang akan diambil calon jika terpilih menjadi pemimpin.
Masyarakat bisa menentukan pilihannya sejak awal dari informasi anggaran sang calon yang dapat mereka akses. Hal ini tentunya tidak untuk melancarkan money politic di masyarakat. Melainkan sebagai sarana mengetahui siapa para penyumbang dana para kandidat. Ini untuk menghindari aliran dana dari orang-orang “bermasalah”. Sistem demikian setidaknya bisa menjadi upaya pencegahan terhadap tindakan korupsi dan kolusi sejak dini.
Berbeda dengan Indonesia, calon-calon enggan memberikan informasi berkaitan dana yang mereka siapkan dan siapa donaturnya. Sehingga para calon dengan mudah menampung “dana-dana tidak halal” dari orang-orang bermasalah, dan tentunya dengan “kompensasi yang tidak halal” pula. Konsekuensinya kebijakan pemerintah akan memihak pada kalangan elit, orang-orang bermasalah dan jauh dari kepentingan rakyat. Belum lagi jika para donaturnya terjerat kasus hukum. Hal ini tidak saja menyita perhatian sang Bupati atau Gubernur, tetapi juga ikut menyita anggaran daerah.
Pilkada, Pilgub dan Pilpres secara langsung sejatinya bisa menjawab dan menjamin kedaulatan rakyat atas negara. Amanat reformasi sudah tercakup dalam sistem pemilihan langsung. Akan tetapi kita mesti waspada, karena kedaulatan rakyat bisa saja direnggut oleh sistem yang kita anggap paling demokrastis ini. Perbaikan sistem dan mekanisme Pilkada langsung mutlak perlu dilakukan, agar Indonesia tidak kembali pada sistem politik yang elitis. Karena sistem pemerintahan yang demokrasitis harus dipahami sebagai sistem yang berasal dari rakyat, diatur menurut kehendak rakyat dan digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat.

Belakangan kita sering disuguhi kabar tentang konflik pasca Pilkada di berbagai daerah. Konflik pasca Pilkada ternyata tidak hanya terjadi antara Bupati atau Gubernur baru dengan calon lain yang gagal. Tetapi sudah membawa masyarakat yang tidak berkepentingan langsung, masuk ke dalam konflik tersebut. Parahnya lagi, konflik interest elit politik tersebut memakan korban serta mengakibatkan rusaknya berbagai fasilitas umum yang dibiayai oleh anggaran negara. Tak ayal anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah semakin besar, karena ditambah biaya perbaikan fasilitas-fasilitas umum yang menjadi sasaran konflik.

Share

2 komentar:

Unknown mengatakan...

belakangan juga banyak yg mulai setengah senewen pasca kekalahannya jdi kepala daerah Mas...

Chairul Umam mengatakan...

Iya...
Banyak yg siap menang tapi tak siap kalah. Bisa jadi karena memang tujuannya maju jadi calon hanya untuk menang, bukan untuk rakyat. Semoga keliru...hehehe