MAULID NABI DAN REVITALISASI AGAMA

Selasa, 18 Maret 2008


Pada tanggal 20 Maret nanti, umat Islam akan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau yang dikenal sebagai hari Maulid Nabi. Umat muslim di Indonesia memiliki banyak tradsi untuk menyambutnya. Seperti lazim dilakukan masyarakat di pulau Jawa adalah membaca kitab al Barzanji, atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan bezanjen. Tradisi ini biasanya dilakukan selama tujuh malam mejelang hari Maulid.
Sementara pada level masyarakat yang lebih mampu, mengadakan pengajian akbar. Biasanya panitia pengajian akbar akan mengundang da’i kondang dari dalam maupun luar kota. Para da’i akan diminta menjelaskan kejadian-kejadian (mu’jizat) seputar kelahiran serta nilai positif dari sejarah kehidupan Nabi. Nilai-nilai positif yang dapat ditangkap da’i, kemudian dikomparasikan dengan kehidupan masyarakat modern saat ini.
Harus diakui bahwa pengajian Maulid Nabi memiliki fungsi strategis sebagai media untuk memasyarakatkan sejarah dan ajaran Nabi. Di samping didengarkan oleh banyak orang, pengajian adalah cara belajar yang mudah bagi masyarakat dari pada membaca kitabnya. Selain itu, budaya mendengarkan lebih diminati masyarakat Indonesia dibandingkan budaya membaca. Walaupun ada kelemahan mendasar dalam metode belajar yang menekankan pendengaran, masyarakat menjadi miskin penafsiran.
Sebagai sebuah metode dakwah, pengajian temporer Maulid Nabi tentu ada kelemahan dan kelebihan. Tinggal bagaimana mengemas pengajian agar sejarah kehidupan Nabi dipahami sebagai substansi perjuangan dalam agama, bukan formalisasi agama sebagaimana dipahami sebagian masyarakat. Sebuah sistem (politik, sosial, ekonomi dan budaya) apapun, jika sesuai dengan substansi yang diperjuangkan agama maka layak dipertahankan.
Sejauh amatan penulis selama ini, muatan dalam pengajian Maulid Nabi lebih banyak mengajak pendengarnya bernostalgia dengan kehidupan harmonis yang berhasil diciptakan Nabi. Dan proses dakwah demikian akan menciptakan penilaian serba salah pada kehidupan sekarang. Masyarakat kemudian mengkultuskan kehidupan seperti pada masa Nabi hidup atau masa sesudahnya. Pada tingkat selanjutnya, masyarakat termotivasi kembali pada sistem yang berlaku pada masa Nabi dan sahabat.
Sayangnya, sebagian besar masyarakat tidak menyadari bahwa untuk kembali pada kehidupan seperti masa Nabi adalah mustahil. Karena seiring cepatnya arus teknologi, tantangan yang dihadapi masyarakat sekarang jauh lebih kompleks dari tantangan yang dihadapi Nabi. Selain itu, pasca Nabi, tidak ada orang atau kelompok yang memiliki otoritas hukum dalam bidang agama maupun bidang kehidupan lainnya seperti Nabi.
Masyarakat saat ini sedang mengalami keterasingan karena proses kehidupan yang semakin cepat dan terkotak-kotak, ketakutan pada kemungkinan kegagalan hidup dalam kejamnya persaingan ekonomi dan profesi. Masyarakat kemudian terjebak dalam sebuah formalisasi keagamaan belaka, yang tentu saja tidak bebas dari kepentingan kelompok elit. Atas nama agama, kepentingan sekelompok orang diakomodir pada tingkat yang lebih tinggi (negara).
Kondisi seperti ini pernah terjadi di Eropa sebelum renaisance dimana negara berkerjasama dengan agamawan untuk mengeksploitasi rakyat. Para agamawan dihegemoni oleh elit politik dalam kerangka hubungan fungsionalitas hingga agama kehilangan watak transformatif-nya. Sementara umat dibiarkan hidup di tengah-tengah kemiskinan sembari berharap kenikmatan di akhirat kelak.
Fakta itu tentu bertentangan dengan misi perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. Secara eksplisit dalam sejarah, yang senantiasa dibaca pada saat Maulid Nabi, disebutkan Nabi merupakan sosok yang sopan, mencintai dan berjuang bersama rakyat tertindas serta anti penindasan. Nabi pun disucikan dari sifat-sifat biadab masyarakat Arab jahiliyah, sebuah masyarakat yang tidak beradab, anarki, penindas dan tidak mau menerima perbedaan sehingga memicu perang saudara.
Sementara dalam konteks ekonomi, Nabi Muhammad menekankan pertumbuhan berjalan seimbang dengan pemerataan. Beliau tidak saja mengajarkan kepada umatnya agar memiliki etos kerja yang kuat, tetapi yang terpenting lagi adalah pemerataan ekonomi (zakat) agar kekayaan tidak hanya berputar pada segelintir orang saja. Sistem ekonomi yang hanya menekankan pertumbuhan saja, hanya akan memperbesar kesenjangan ekonomi masyarakat.
Tetapi pemahaman masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama sedang mengalami proses kemunduran. Pemahaman akan ekonomi Islam, misalnya, hanya sebatas mendirikan Bank Syari’ah atau Asuransi Syari’ah. Padahal menurut Asghar Ali Engeener, ekonomi Islam adalah perlawanan terhadap ekonomi kapitalistik yang selama ini menindas orang-orang miskin. Misi utama ekonomi Islam bukan sekedar gerakan simpati terhadap nasib orang miskin, biasanya dengan infaq, shodaqoh dan zakat. Tetapi merombak struktur yang timpang, menghisap, menindas dan tidak adil yang menjadi sumber kemiskinan.
Masyarakat yang lebih menekankan formalisasi agama dibandingkan substansi agama, disebabkan oleh reaksi para elit agama (religious elite) atas perubahan-perubahan yang terjadi di luar agama. Selama ini modernisasi yang diwakili peradaban Barat dan terbukti lebih maju Timur, oleh para elit agama, dianggap sebagai musuh. Ironisnya para elit agama tersebut sekaligus menjadi media promosi “murah” bagi produk-produk tersebut.
Semestinya tugas agama dan elitnya, adalah menanamkan nilai-nilai baru dan mengganti nilai-nilai yang bertantangan dengan ajaran-ajaran agama. Agama harus terlibat aktif dalam menetapkan sasaran pembangunan, metode dan sarana yang diperlukan, serta menetapkan orientasi pembangunan. Untuk menunjang itu, pemahaman agama harus ditempatkan dalam kerangka kemanusian (masalah kemiskinan, kerusakan lingkunga hidup dan ketidak adilan).
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah tulisan menyebutkan, bahwa Islam melekatkan kewajiban yang tidak ringan pada umatnya. Kawajiban itu ialah senantiasa konsisten dalam berpikir dan mencari pemecahan bagi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, kewajiban menjunjung tinggi tujuan utama kehidupan menurut Islam, menyediakan sarana untuk mencapai tujuan, serta bertanggungjawab dan jujur. Tujuan kehidupan menurut Islam tidak lain adalah berusaha maksimal mencari kemaslahatan, menjauhkan kerusakan dan menerapkan asas kerahmatan dalam seluruh kehidupan.
Semua kewajiban tersebut adalah konsekuensi dari pengakuan Islam terhadap manusia. Pertama, Islam menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk lain ciptaan-Nya. Kedua, manusia diberi penghargaan sebagai wakil Tuhan di bumi dan diberi kepercayaan untuk mengelolanya. Ketiga, manusia diberi modal dasar oleh Tuhan dan tidak diberikan pada makhluk lainnya.
Tujuan Islam tersebut yang seharusnya mendapat porsi lebih besar dalam tema-tema dakwah agama, tidak terkecuali Maulid Nabi. Ulama, salah satu elit pemimpin dalam masyarakat dan diyakini sebagai “para pewaris Nabi”, mestinya mulai mengkampanyekan dan bergerak muwujudkan tujuan agama. Dengan melaksanakan kewajiban tersebut secara kontiniu dan integral, masalah-masalah yang ada di masyarakat saat ini dan masa depan dapat diselesaikan

Pada tanggal 20 Maret nanti, umat Islam akan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau yang dikenal sebagai hari Maulid Nabi. Umat muslim di Indonesia memiliki banyak tradsi untuk menyambutnya. Seperti lazim dilakukan masyarakat di pulau Jawa adalah membaca kitab al Barzanji, atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan bezanjen. Tradisi ini biasanya dilakukan selama tujuh malam mejelang hari Maulid.

Share

0 komentar: