ADA APA DENGAN HASYIM MUZADI?

Jumat, 01 Mei 2009

Ada yang aneh dari pernyataan KH. Hasyim Muzadi di Ponpes Langitan (Sabtu petang, 25/4). Pasalnya pernyataan yang disampaikan didepan wartawan melenceng dari Pedoman Berpolitik Warga NU yang dirilis oleh PBNU. Hasyim mengungkapkan bahwa “Nahdliyin harus memilih presiden Indonesia yang mau berjuang dan berdakwah untuk Islam”. Pernyataan yang mungkin “menyakitkan” bagi saudara kita penganut agama lain, karena mereka masih dianggap warga negara kelas dua. Tidak pantas pula kiranya pernyataan tersebut keluar dari Ketua Konsorsium Agama-agama Dunia dan Perdamaian

Terlebih jika kita mengamati perkembangan politik sekarang, siapa calon presiden yang siap berjuang dan berdakwah untuk Islam? Bukankah presiden sekarang tidak bisa mencegah besan-nya untuk tidak korupsi. Padahal komitmen presiden adalah memberantas korupsi yang selama ini menyebabkan bangsa ini terus melarat dan susah maju. Dari sekian banyak penduduk Indonesia yang melarat tentu saja sebagian besarnya adalah umat Islam. Artinya capres-capres tersebut tidak belum ada yang terbukti mampu “berjuang” untuk Islam. Lantas apakah yang dikehendaki oleh Hasyim umat Islam Indonesia harus golput dalam Pilpres mendatang?
Ketidak laziman selanjutnya adalah “ketakutan” Hasyim Muzadi terhadap pemikiran kumpulan anak-anak muda yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Bahkan menurutnya pemikiran JIL telah terkontaminasi oleh pemikiran sekuler barat, serta bisa jadi lebih berbahaya dibandingkan orang kafir. Menurutnya lagi perusakan aqidah Islam selalu muncul di Indonesia akibat dari sikap pemerintah yang tidak serius menumpas aliran-aliran tersebut. Seolah-olah yang menjaga keberlangsungan dan mengajarkan agama selama ini adalah pemerintah, bukan para Kyai dan para pemuka masing-masing agama. Begitu percayanya kah Hasyim dengan pemerintah?
Sejatinya keyakinan masyarakat terhadap sebuah aliran keagmaan atau kepercayaan adalah wilayah privasi yang tidak boleh diganggu oleh siapapun termasuk negara. Konstitusi Indonesia pun menjamin kebebasan rakyatnya untuk berkeyakinan. Ketakutan hasyim terhadap JIL dan aliran-aliran yang dianggapnya sesat adalah bentuk pengakuan kelemahannya mengelola sebuah organisasi Islam terbesar di dunia. Para kyai sudah tercerai-berai akibat kepentingan politik yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Pondok dan para santri sering terbengkalai, karena sang kyai sibuk melakukan lobi-lobi politik. Terlebih lagi pasca Pemilu, banyak kyai memiliki kerjaan sampingan sebagai makelar massa. Dan ternyata kepengurusan PBNU dibawah Hasyim tidak bisa mengatasi kondisi demikian. Atau mungkin karena pengurus PB juga lupa dengan tanggungjawabnya terhadap jam’iyyah?
Apa pula kata dunia jika ketua PBNU sekaligus WCRP sudah menyarankan negara untuk “menumpas” aliran-aliran yang menurut Hasyim “sesat”? Dalam konteks perdamaian, bahasa mempunyai pengaruh yang signifikan bagi keberlangsungan perdamaian. Misalnya kata “tumpas atau menumpas” semestinya diganti dengan “membenahi, meluruskan atau mengajak kembali”. Dengan jabatan dan posisinya sebagai pemimpin organisasi keagamaan, Hasyim tidak layak mengeluarkan pernyataan demikian. Kalimat “menumpas aliran dan pemahaman keagamaan sesat” bisa juga ditafsirkan sebagai himbauan untuk “menumpas orang-orang yang mengikuti aliran dan meyakini pemahaman keagamaan sesat”. Karena keyakinan bagi seseorang harus dibela sekalipun nyawa taruhannya.

Dalam diskursus keagamaan, NU di bawah pimpinan Hasyim nampaknya tidak lagi berdiri di “tengah”. Wacana keagamaan yang dibangun semakin “ke-kanan-kanan-an” bahkan cenderung mendekati “Wahabi”. Ternyata Hasyim tidak secerdas dan sebijak Gus Dur, yang mampu menaungi sekaligus mengkomunikasikan pemikiran serta keinginan anak-anak muda dengan para sesepuhnya. Hasyim mestinya sadar bahwa anak-anak muda inilah nantinya yang akan menggantikan kepemimpinannya. Jika pemikiran-pemikiran bebas anak-anak muda sejak awal diberangus dan didakwa salah, kapan mereka tahu bagaimana yang benar. Bukankah pemikiran dan pemahaman mereka adalah jawaban atas situasi dan kondisi yang dirasakannya, yang tentu sangat jauh berbeda dengan tantangan jaman ketika Hasyim muda? Ada apa sebenarnya dengan Hasyim?
.

Share

0 komentar: