KOMUNIKASI POLITIK DALAM PEMILUKADA PEMALANG

Rabu, 03 November 2010

Tanggal 31 Oktober 2010 yang lalu menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Pemalang. Pada hari itu masyarakat akan menentukan siapa yang akan menjadi Bupati dan Wakil Bupati untuk masa lima tahun mendatang. Ada empat pasangan calon yang lolos dalam seleksi dan bertarung menjadi orang nomor satu dan dua di Kabupaten Pemalang. Keempat pasangan terdiri dari beragam profesi, mulai dari kalangan birokrasi, tokoh perempuan, profesional hingga pengusaha.

Tanggal 31 Oktober 2010 yang lalu menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Pemalang. Pada hari itu masyarakat akan menentukan siapa yang akan menjadi Bupati dan Wakil Bupati untuk masa lima tahun mendatang. Ada empat pasangan calon yang lolos dalam seleksi dan bertarung menjadi orang nomor satu dan dua di Kabupaten Pemalang. Keempat pasangan terdiri dari beragam profesi, mulai dari kalangan birokrasi, tokoh perempuan, profesional hingga pengusaha.
Terlepas dari calon mana yang akan menang pada Pemilukada Kabupaten Pemalang, dan memang bukan porsi penulis memprediksi siapa pemenangnya, ada hal menarik untuk diamati. Terutama strategi penggalangan dan komunikasi politik yang digunakan oleh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pemalang. Dua hal tersebut menarik karena memiliki implikasi yang cukup signifikan bagi pembangunan Kabupaten Pemalang lima tahun kedepan.
Acara Debat Publik Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pemalang yang diprakarsai oleh KPU Kabupaten Pemalang pada tanggal 19 Oktober 2010 lalu, bisa menjadi gambaran strategi penggalangan dan pola komunikasi yang digunakan calon Bupati dan tim suksesnya. Pertama, Debat Publik Calon Bupati dan Wakil Bupati mayoritas dihadiri oleh Pegawai Negeri Sipil dan Kepala Desa. Kondisi ini menunjukkan bahwa Pemilukada masih sebatas isu di tingkat elit politik. Kedua, jawaban yang dilontarkan calon Bupati atas pertanyaan panelis masih mengambang dan tidak fokus pada pertanyaan. Terutama yang berkaitan dengan isu-isu dasar seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan KKN di lingkungan SKPD.
Jika dilihat dari mayoritas audience yang hadir adalah PNS dan Kepala Desa, bisa diasumsikan bahwa PNS, Kepala Desa dan perangkatnya menjadi salah satu pilihan utama “mesin” penggalangan massa. Asumsi ini berdasarkan karakteristik pemilih (voter) dalam “hajatan politik” seperti Pemilukada. Diantara karakteristik pemilih diantaranya adalah massa ideologis dan massa pragmatis-transaksional, pemilih kritis-transformatif. Massa Ideologis adalah massa pendukung partai politik atau memiliki kedekatan dengan tokoh partai politik. Pilihan massa ideologis sesuai dengan pilihan partai atau tokohnya. Sedangkan massa pragmatis-transaksional basisnya di kantong-kantong kemiskinan dimana pilihan politiknya sangat ditentutan oleh apa yang mereka dapatkan saat ini. Sementara kalangan menengah ke atas dan terdidik, yang pastilah jumlahnya minoritas, akan mendukung calon Bupati jika dianggap bisa mewujudkan atau merepresentasikan kepentingan mereka.
Kepentingan dalam konteks Pemilukada motifnya sangat variatif, mulai dari kepentingan politik, ekonomi hingga sosial terangkum di dalamnya. Akan tetapi dalam sebuah suksesi kepala daerah kepentingan masyarakat, terutama masyarakat bawah, menjadi prioritas utama. Pemilukada tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan saja, tetapi untuk mewujudkan harapan masyarakat. Wacana dan isu Pemilukada pun tidak hanya sebatas pada kalangan elit politik, melainkan menjadi isu bersama seluruh masyarakat. Masalah seperti tingginya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran serta mahalnya biaya pendidikan adalah menu utama yang mestinya menjadi perhatian utama. Pilihan masyarakat pada salah satu calon mengisyaratkan harapan terwujudnya pembangunan yang lebih baik dan penyelesaian masalah dasar di atas.
Dari wacana yang dikembangkan oleh pasangan calon Bupati nampak ada kesenjangan wacana antara kalangan menengah dan elit politik dengan masyarakat bawah. Wacana pembangunan calon Bupati hanya berdasarkan kaca mata masing-masing calon yang tertuang dalam visi-misi bukan dari masalah lokal daerah. Alasan masyarakat memilih salah satu pasangan calon misalnya, tidak berdasarkan atas apa yang akan dilakukan calon Bupati ketika terpilih. Bahkan mayoritas calon pemilih tidak mengetahui visi dan misi calon Bupati pilihannya. Alasan masyarakat memilih calon Bupati hanya berdasarkan popularitas, figur calon Bupati dan “berapa” yang akan diberikannya.
Strategi menjual figur calon biasanya akan lebih efektif jika didukung dengan black campaign terhadap calon lain yang dianggap pesaing utama. Misalnya isu kedaerahan (putra daerah) dan isu calon yang menjadi penerus rezim terdahulu (status quo) yang sempat berkembang di masyarakat. Strategi dan pilihan wacana tersebut tentunya merupakan pendidikan politik yang negatif serta akan menciptakan kondisi politik yang tidak sehat. Tidak sehatnya kondisi politik berpotensi menciptakan konflik politik yang berujung pada chaos (kerusuhan) di level bawah. Dan tentunya hal yang demikian tidak diinginkan oleh semua pihak.
Konflik horizontal dalam momen Politik seperti Pemilukada semestinya bisa dihindari, jika pola komunikasi dan pendekatan pada massa pendukung mengedepankan visi-misi dan proyeksi pembangunan sang calon. Pola komunikasi dan pendekatan yang relatif sehat bisa kita amati dalam momen Pilkades (Pemilihan Kepala Desa), meski tidak semuanya demikian. Biasanya pendekatan yang dibangun dalam momen Pilkades adalah pendekatan kekeluargaan. Sementara komunikasi politiknya berdasarkan masalah dan kebutuhan masyarakat desa serta program pembangunan yang akan dijalankan oleh Kepala Desa. Masyarakat mengenal betul calon Kepala Desa yang akan dipilihnya dan program pembangunan yang menjadi prioritas sang calon.
Bukan hal mustahil pola komunikasi dan pendekatan seperti dalam momen Pilkades digunakan dalam konteks yang lebih besar seperti Pemilukada. Pendekatan dan komunikasi politik dibangun atas dasar kekeluargaan dan kebutuhan masyarakat terhadap pemimpin. Pilihan masyarakat tidak karena figur calon saja, tetapi program pembangunan dan kebijakan yang akan diambilnya. Dengan demikian pemenang Pemilukada bukan calon yang hanya memiliki kekuatan dana dan populer saja. Akan tetapi pemenang Pemilukada adalah calon yang benar-benar dikenal masyarakat, mengerti masalah yang dihadapi masyarakat dan memilki program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian pembangunan Kabupaten Pemalang lima tahun kedepan akan sesuai dengan keinginan masyarakat, semoga.
.

Share

0 komentar: