Gejala “Tontonan Jadi Tuntunan” di Masyarakat

Kamis, 27 Desember 2007

Selogan “tontonan menjadi tuntunan” yang dipopulerkan oleh Da’i sejuta umat, KH. Zainudin MZ pada tahun 1990-an nampaknya terbukti. Media massa elektronik atau televisi terbukti sanggup membawa masyarakat mengikuti apapun yang ditampilkan dilayar datar tersebut. Bahkan kalimat atau dialog pada pariwara dengan fasih ditirukan oleh sebagian besar masyarakat, walaupun dengan waktu yang relatif sedikit jika dibandingkan dengan acara utama sebuah televisi.


Pada kenyataannya tidak hanya kalimat atau dialog saja akan tetapi gaya hidup masyarakat pun seakan dituntun oleh televisi. Melalui sinetron-sinetron yang menyajikan gaya hidup mewah dan konsumtif hingga acara gosip-gosip dan konflik dalam kehidupan selebritis yang menjadi menu utama tontonan masyarakat, membuktikan selogan tersebut. Dalam kondisi sadar maupun tidak sadar masyarakat telah menjadi korban paradigma kapitalis dengan pola hidup konsumtif.

Sebuah pengalaman menarik pernah penulis dapatkan sebulan yang lalu di sebuah desa yang cukup jauh dari pusat kota di daerah Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Karena terlalu sering melihat acara gosip di televisi tentang pemukulan seorang artis yang berakhir di pengadilan dan didukung pendidikan yang rendah, seorang ibu yang menampar tetangganya dituntut membayar ganti rugi oleh si korban sebesar satu juta rupiah melalui Pemerintah Desa.

Kejadian ini bermula karena pelaku digosipkan oleh penuntut, berselingkuh dengan tetangganya. Konflik ini menjadi sorotan masyarakat karena melibatkan keluarga besar si penuntut dan pelaku dalam proses negosiasi yang alot. Tokoh masyarakat dan agama yang coba mendamaikan dengan dalil-dalil agama pun tidak dapat menarik keputusannya untuk tetap mengajukan tuntutan. Selain itu, pekerjaan pelaku sebagai “buruh macul” (tukang cangkul) semakin memperlebar konflik, karena sebagian masyarakat menganggap penuntut tidak manusiawi. Seorang buruh cangkul yang kesulitan memenuhi kebutuhannya harus membayar uang satu juta rupiah, hanya untuk kasus yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

Setelah penulis amati keterangan-keterangan dari masyarakat, nampak beberapa kejanggalan dalam kasus ini. Pertama, aparat desa menjadi “promotor utama” korban menuntut pelaku membayar ganti rugi. Aksi penamparan sebenarnya sudah terjadi 3 hari yang lalu sebelum pelaku dituntut. Baru setelah korban konsultasi ke aparat desa muncul keinginan untuk menuntut pelaku. Sementara Kepala desa yang dimintai keterangan oleh beberapa pemuda tidak memberikan jawaban yang menyejukkan, melainkan mendukung proses tuntutan. Kedua, uang ganti rugi -yang akhirnya disepakati oleh kedua pihak- sebanyak empat ratus ribu rupiah diberikan kepada aparat desa.

Ketiga, proses penyelesaian kasus tidak melibatkan kepolisian selaku pihak yang bertanggungjawab memproses kasus hingga ke pengadilan. Keempat, terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan dan agama dalam masyarakat desa. Terbukti saran dan nasihat dari tokoh agama dengan dalil-dalil agama sekalipun, tidak diindahkan oleh penuntut. Bahkan apologi penuntut mirip dengan jawaban para selebritis dan pengacaranya yang sering ditayangkan televisi.

Kejanggalan yang terdapat dalam kasus di atas memang melibatkan banyak aktor dan faktor pendukung. Di samping faktor minimnya pendidikan masyarakat, faktor tontonan di televisi bisa menjadi faktor pendukung utama. Banyaknya jam tayang televisi yang menyajikan pola hidup “ala Barat” lambat laun menggerogoti nilai-nilai luhur dalam masyarakat desa. Korban tidak mau memilih jalan damai (Islah) yang selama ini menjadi alternatif utama kasus-kasus serupa. Sedangkan jalur hukum yang ditempuh hanya sekedar meniru apa mereka tonton di televisi.

Selain itu, harus disadari bahwa sosialisasi produk hukum di Indonesia selama ini menghawatirkan. Baik pemerintah maupun media massa (cetak dan elektronik) hanya menginformasikan kebijakan saja, sedangkan undang-undang yang mengaturnya tidak dicover secara berimbang. Masyarakat hanya dijejali dengan produk kebijakan bukan proses pembuatannya. Cara yang tidak mendidik bukan?

Kasus di Pemalang -mungkin terjadi desa-desa lain- tidak akan demikian, jika pemerintah dan insan media massa mencari cara yang lebih bijak dan mendidik dalam menyajikan informasi. Kasus-kasus kriminal maupun konflik yang ditayangkan ditambah dengan undang-undang yang mengatur dan proses penyelesaiannya. Sehingga masyarakat yang berhadapan dengan kasus serupa tidak salah kaprah dalam menyelesaikannya. Masyarakat yang sadar hukum tentu saja akan mempersempit ruang gerak oknum-oknum mafia peradilan dan pihak yang ingin mengambil keuntungan, semoga.

.

Share

0 komentar: