Ibadah Haji dan Usaha Memerangi Kemiskinan

Kamis, 27 Desember 2007

alam waktu dekat ini umat Islam sedunia akan melaksanakan rukun Islam ke lima di kota Mekkah. Ibadah sekaligus napak tilas sejarah Nabi Ibrahim a.s tersebut adalah ibadah yang ditunggu-tunggu, karena dilakukan dalam periode tertentu dalam satu tahun. Haji pun hanya diwajibkan bagi mereka yang memenuhi syarat, terutama kesehatan fisik dan kemampuan finansial.


Indonesia sebagai negara muslim terbesar dunia, pada tahun 2008 ini memberangkatkan 180.000 jama’ah. Jika dikalkulasikan per orang mengeluarkan biaya rata-rata dua puluh lima juta rupiah, maka jumlah biaya Haji Indonesia keseluruhannya mencapai Rp. 4.500.000.000.000 (4,5 trilyun). Angka ini cukup fantastis jika kita bandingkan dengan berita di media massa yang selalu menayangkan kegelisahan masyarakat dan pemerintah terhadap ambruknya perekonomian bangsa. Pertanyaan yang muncul adalah, benarkah bangsa ini sedang mengalami krisis atau hanya peredaran ekonomi kita saja yang tidak merata? Sehingga yang kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin.

Kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang tidak mampu dipertanyakan dalam konteks ini. Masih banyak masyarakat Indonesia yang terpaksa makan nasi aking dan ribuan calon penerus bangsa mengalami gizi buruk. Data kemiskinan BPS tahun 2007 mencatat jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 34,17 juta jiwa. Menunjukkan bahwa masyarakat di sekeliling kita dalam kondisi yang kritis.

Perbandingan jumlah rakyat miskin dan biaya jama’ah Haji Indonesia di atas, merupakan gambaran kesenjangan hidup berbangsa dan beragama di Indonesia. Sedangkan Islam di sisi lain, tidak menginginkan adanya kesenjangan antara si miskin dan kaya. Terbukti dari lima rukun Islam, tiga diantaranya (puasa, zakat dan Haji) adalah konsep besar pemerataan ekonomi masyarakat.

Nampaknya kita perlu menilik ulang konsep Haji dalam rangka usaha membebaskan kemiskinan di Indonesia. Kewajiban melaksanakan Haji bagi seorang muslim hanya sekali seumur hidup, selebihnya adalah Sunnah. Dan dari sekian ratus ribu jumlah jama’h Haji Indonesia tentu saja banyak yang melakukan untuk kesekian kalinya. Berkaitan dengan ini, Imam al Ghazali, menegaskan agar seorang muslim yang memiliki kemampuan melaksanakan Haji terlebih dahulu mengutamakan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Kesadaran untuk mendahulukan kesejahteraan masyarakat tidak mampu nampak jelas dalam pandangan Imam al Ghazali. Pandangan ini merupakan kritik terhadap pola keberagamaan kita selama ini yang cenderung melihat dari kerangka formal saja, dan lupa dengan esensi keadilan yang dibawa oleh Islam. Bukan lagi rahasia jika sebagian masyarakat muslim Indonesia memanfaatkan gelar Haji untuk menaikkan prestis sosial di lingkungannya. Para juru dakwah pun seakan “men-justifikasi” dengan memberikan iming-iming pahala kepada calon jama’ah. Sementara Departemen agama (Depag) hanya memainkan peran “fasilitator” pelaksanaan ibadah Haji yang selama selalu menuai kasus.

Depag bisa mulai “membatasi haji sekali seumur hidup” atau dengan periode tertentu. Ditingkat non struktural, Ormas Islam dan para da’i dapat memberikan pemahaman yang lebih mendahulukan esensi daripada formalitas belaka kepada masyarakat. Biaya yang akan mereka keluarkan untuk Haji kesekian kali akan lebih bermanfaat diberikan kepada masyarakat tidak mampu.

Sudah saatnya “paradigma timpang” pelaksanaan Haji di Indonesia dibenahi agar lebih bermanfaat dalam bidang sosial. Haji bukanlah trade mark seorang muslim untuk meraih ridha Allah dan bukan hanya karena beberapa kali pergi ke tanah suci seorang muslim dijamin mendapat ridha-Nya. Bukankah ridha Allah juga terdapat dalam do’a orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Dengan memperhatikan mereka Islam akan senantiasa menjadi agama yang rahmatan lil ‘alamiin, wallahu a’lam

.

Share

0 komentar: