MENJADIKAN ISLAM SEBAGAI AGAMA ANTI KEKERASAN

Rabu, 23 Januari 2008

MENJADIKAN ISLAM SEBAGAI AGAMA ANTI KEKERASAN
OLEH : Chairul Umam

Kita baru saja merasakan indahnya hari raya Idul Adha, hari besar umat Islam guna mengenang pengorbanan ikhlas Nabi ibrahim a.s dan putranya Nabi Ismail a.s untuk sang Khalik. Tidak hanya itu, nuansa perdamaian dan keikhlasan berbagi dengan sesama dapat kita rasakan pada hari raya Idul Adha. Si kaya dengan kekuatan ekonominya dapat berbagi kenikmatan dengan si miskin, yang mungkin selama satu tahun hanya dirasakan pada hari tersebut. Islam nampak dalam bingkai kedamaian, kebersamaan dan kasih sayang.


Akan tetapi tidak demikian dengan yang dirasakan oleh saudara-saudara kita di Pakistan. Idul Adha yang baru dirayakan pada hari Jum’at 21 Desember 2007 lalu yang seharusnya menjadi hari gembira, tiba-tiba berubah menyedihkan bahkan tragis. Tercatat ada 50 muslim menjadi korban aksi bom bunuh diri yang terjadi di masjid Distrik Charsadda Propinsi Pakistan Barat Laut, pada saat Sholat Idul Adha. Aksi bom bunuh diri ini ditengarai dilakukan oleh kelompok militan Pakistan yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah (Radio VOA dan El Shinta, Sabtu 22/12).

Aksi ini tentu saja menuai kutukan dari segala penjuru dunia, terlebih dari negara-negara muslim. Dari hasil sebuah pengamatan menyebutkan target aksi ini adalah seorang mantan Menteri Dalam Negeri Pakistan, Aftab Sherpao, yang pada saat menjabat sering melakukan operasi militer di daerah-daerah kantong kelompok militan. Operasi militer tersebut, menurut sumber yang sama, dilakukan untuk menjaga Pakistan dari kelompok militan Afganistan.
Terlepas dari konflik politik yang terjadi di Pakistan menjelang PEMILU tahun 2008, aksi bom bunuh diri merupakan aksi biadab dan sama sekali tidak Islami. Pertanyaan yang muncul dari aksi tersebut, apa yang menyebabkan sebagian kecil umat muslim menjadi tidak manusiawi? Hanya karena sebuah kepentingan politik mereka tega mengorbankan puluhan nyawa yang tidak berdosa. Bukankan Idul adha mengajarkan kepada seluruh umat muslim agar selalu ikhlas berkorban demi mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera.
Dr. Khaled Abou El Fadl, seorang ahli hukum Islam terkemuka di Amerika, menyebutkan faktor krisis identitas yang dialami umat Islam karena ambruknya peradaban Islam serta kegagalan negara-negara Muslim menghadapi tantangan global adalah penyebab utamanya. Kegagalan dan ketertinggalan dunia Islam dari Barat serta krisis identitas menyatu menjadi rasa frustasi yang berujung pada digunakannya kekerasan oleh sebagian kelompok Islam.

Islam dan Tradisi Anti Kekerasan
Pandangan Khaled Abou El Fadl tersebut, menggambarkan aksi bom bunuh diri serta aksi kekerasan lainnya yang dilakukan oleh sebagian umat Islam lebih disebabkan oleh faktor kepentingan politik. Dan secara geneologis gerakan kelompok Islam politik terdapat kesamaan dengan gerakan Khawarij pada masa akhir kepemimpinan sahabat Ali bin abi Thalib. Kaum Khawarij bahkan menggunakan teks-teks suci al Qur’an untuk melegitimasi aksi pembunuhan terhadap sahabat Ali bin Abi Tholib yang dilakukan mereka. Tidak hanya aksi kekerasan, kelompok Islam politik ini pun gemar menuduh orang lain yang berbeda sebagai orang kafir, murtad, musyrik serta anti toleransi.
Apa yang dilakukan oleh kelompok Islam politik tentu bukan sikap yang diajarkan oleh Islam. Nama Islam sendiri berasal dari kata “salam” dalam bahasa Arab yang berarti “damai”. Dr. Nagendra KR. Singh dalam sebuah bukunya Peace Trough Non Violent Action in Islam, yang dalam terjemahan Indonesia berjudul Etika Kekerasana Dalam Tradisi Islam (2003) menulis, ada empat konsep kunci dalam al Qur’an; ‘Adalah (Keadilan), Ihsan (berbuat baik), Rahmah (kasih sayang) dan Hikmah (bijaksana). Tidak satu pun dari konsep tersebut yang mendorong kekerasan.
Selanjutnya Dr. Nagendra Singh mengutip sebuah hadits dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh Ibn Majah menyebutkan bahwa Nabi Muhammad mengatakan orang dan mendukung atau berusaha mendukung kekerasan selamanya berada dalam kemurkaan Allah. Hadits ini mencakup sejumlah konfirmasi sistem nilai anti kekerasan yang sangat tegas dalam tradisi religio-kultrural Islam.
Dalam kondisi tertentu, kekerasan atau perang dapat dicari “pembenarannya” dalam Islam. Akan tetapi perang atau yang sering dimaknai dengan Jihad bukan seperti yang dilakukan oleh kelompok Islam politik. Perang atau Jihad hanya dibolehkan dalam konteks mempertahankan diri (defensif) bukan menyerang (agresif), serta harus benar-benar lepas dari emosi atau nafsu binatang. Sebuah riwayat menceritakan sahabat Ali bin Abi Tholib urung membunuh orang kafir dalam sebuah perang hanya karena orang kafir tersebut meludahinya. Beliau merasa khawatir jika membunuh orang kafir itu bukan semangat Jihad yang mendorongnya, tetapi lebih dikarenakan emosi atau nafsu.
Al Qur’an membolehkan berperang hanya dalam beberapa konteks. Pertama, menyelamatkan masyarakat yang teraniaya (mustad’afin) dan sudah tidak ada cara lain untuk menyelamatkan mereka (An Nisa’ ayat 74). Kedua, perang dilakukan jika umat Islam diusir dari tempat tinggalnya dan dihina agamanya (Al Haj : 40 dan at Taubah : 12). Selanjutnya dalam sebuah perang, Islam tidak mengijinkan umatnya perang melawan orang-orang yang tidak bersenjata (Al Baqarah : 191).
Melihat ajaran dasar Islam dan cara perang menurut Islam, serta membandingkannya dengan aksi bom bunuh diri di Pakistan, terdapat banyak hal yang bertentangan. Terutama berkenaan dengan korban bom bunuh diri adalah orang-orang tidak berdosa yang seharusnya mendapat perlindungan. Dari kejadian ini hendaknya kita belajar bahwa Islam tidak membenarkan kekerasan atas nama agama maupun hanya untuk kepentingan sesaat. Selamanya kekerasan tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah, wallahu'alam.

.

Share

0 komentar: