MENEMPATKAN KEMANUSIAAN SETELAH KEADILAN

Rabu, 23 Januari 2008

Kondisi kesehatan mantan Presiden RI Soeharto beberapa minggu terakhir menjadi perhatian publik. Mantan pejabat Orde Baru dan pejabat dari negara-negara tetangga datang silih berganti memberikan doa untuk keselamatan Soeharto. Tidak hanya itu, media cetak dan elektronik nasional rela berhari-hari menunggu di RS. Pertamina Jakarta hanya untuk mendapatkan kabar terakhir dari dokter atas kesehatan mantan penguasa Indonesia tersebut.

Selain kondisi kesehatannya, status hukum Soeharto pun, seperti biasa, menjadi ajang adu keilmuan dan perdebatan menarik para ahli hukum dan elit politik Indonesia. Beramai-ramai para politisi (walaupun bukan wilayahnya) dan ahli hukum memberikan solusi atas status Soharto. Demonstrasi pun tidak kalah banyaknya, ada yang “memberi dukungan” maupun menuntut Soeharto ke pengadilan. Akan tetapi seperti biasa pula, Pengadilan dan Pemerintah seolah menganggap tidak terjadi apa-apa dan membiarkan perdebatan ini berlarut-larut. Kenyataan yang sering terjadi ketika Soeharto mengalami krisis kesehatan. Tetapi anehnya ketika kondisi Soeharto membaik, dengan mudah pula para pengamat dan demonstran lupa akan status hukum dan tuntutan mereka pada mantan penguasa tersebut.
Jika diruntut kebelakang, status hukum Soeharto telah menjadi perdebatan sejak GusDur menjadi Presiden tahun 1999. Tawaran Gus Dur pada waktu itu adalah melanjutkan kasus-kasus yang berkaitan dengan Soeharto ke pengadilan -walaupun nantinya jika terbukti bersalah- akan dimaafkan kesalahan-kesalahannya. Ternyata “tawaran cantik” Gus Dur ketika itu tidak disambut serius oleh pihak pengadilan sehingga masih menggantung setelah 9 tahun berlalu.

Salah Menempatkan Rasa Kemanusiaan Dan Keadilan
Sekedar mengingatkan –barangkali kita juga lupa- negara kita sejak awal didirikan memilih jadi negara hukum. Seluruh rakyat di seluruh wilayah Indonesia harus menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Dan seluruh masyarakat Indonesia tanpa pandang bulu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, tentu saja ketentuan ini berlaku pula untuk Soeharto serta elit-elit politik lainnya. Tetapi semua itu hanya tinggal cita-cita founding fathers, dan kita telah melupakannya. Indonesia telah menjadi sebuah negara serba bisa, termasuk “memainkan” pengadilan dan hukum.
Hal ini didukung dengan para pengamat hukum, politisi, mahasiswa dan aparat penegak hukum yang lupa akan kemanusiaannya ketika berhadapan dengan kasus yang dialami masyarakat kecil, seperti korban lumpur PT. Lapindo. Pertimbangan kemanusiaan tidak jelas mewarnai jika dibandingkan dengan kasus Soeharto. Mereka begitu mudah menyebut jasa-jasa Soeharto pada negara, tetapi lupa jasa ratusan warga yang membayar pajak pada negara serta susahnya hidup di pengungsian selama berbulan-bulan. Dan seperti dapat diduga sebelumnya, masyarakat dikalahkan di pengadilan oleh PT. Lapindo.
Dari kaca mata politik, membandingkan dua kasus tersebut mungkin hal yang salah. Soeharto mungkin memiliki bobot politik yang jauh lebih besar dari pada ratusan warga korban lumpur Lapindo. Sebuah kesan yang dapat ditangkap dari dua kasus tersebut adalah bangsa ini masih sering salah menempatkan rasa kemanusiaan dan keadilan. Rasa kemanusiaan serig didahulukan dari pada keadilan, terutama pada kasus-kasus orang kaya. Padahal sesungguhnya, kemanusiaan akan terjamin jika keadilan lebih dahulu ditegakkan. Bukankah tidak manusiawi pula jika dalam keadaan sakit kita sibuk menuntut Soeharto, sementara ketika sehat kita adem ayem saja.
Keputusan pengadilan terhadap status Soeharto tentu lebih penting dari sekedar ampunan yang diberikan kepadanya. Walaupun ada jargon hukum yang mengatakan “lebih baik salah mengampuni dari pada salah menghukum”, tidak berarti meniadakan proses hukum yang berlaku. Jika Soeharto diampuni tanpa proses hukum, maka yang selanjutnya terjadi adalah muncul kenyataan-kenyataan serupa dalam dunia hukum di Indonesia. Karena selain mudah lupa, bangsa kita juga adalah bangsa yang mudah meniru, wallahu a’lam.
.

Share

0 komentar: