Makna Imlek dan Kehidupan yang Harmoni

Rabu, 13 Februari 2008


Suka cita Imlek sepertinya tidak hanya dirasakan oleh warga Tionghoa saja, melainkan warga pribumi lainnya. Biasanya mereka akan membagi-bagikan kue atau uang (ang pao) untuk masyarakat dilingkungannya. Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan Idul Fitri, dimana orang muslim diperintahkan untuk memberikan sebagian hartanya (zakat) kepada masyarakat yang tidak mampu.
Pada konteks ini mungkin ada sedikit kemajuan jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru atau bahkan masa awal reformasi. Dan mungkin hingga saat ini masih ada perlakuan tidak adil pada mereka. Banyak fakta membuktikan warga Tionghoa sering menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan birokrasi (politik). Sebut saja kasus pemerkosaan massal pada bulan Mei 1998 di Jakarta, atau kekerasan di Tasikmalaya yang memakan korban warga Tionghoa. Proses hukum dari kasus-kasus tersebut pun seakan dilupakan begitu saja oleh pemerintah.
Sebaliknya, warga Tionghoa di Indonesia tetap bertahan bahkan berusaha membangun bangsa yang “mendiskriditkan” mereka. Sebagai contoh adalah perjuangan atlet bulu tangkis keturunan Tionghoa yang berhasil menjuarai turnamen internasional tidak menolak disebut sebagai atlet Indonesia. Tetapi masyarakat dan kalangan birokrasi seakan lupa bahwa saudaranya warga Tionghoa pernah menjadi pahlawan bangsa dan mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Keberatan masyarakat Indonesia untuk menerima secara terbuka warga Tionghoa tentu bukan tanpa alasan. Keberatan itu lebih banyak dikarenakan kecemburuan sosial dan ekonomi. Masyarakat melihat warga Tionghoa adalah kelompok yang standar hidupnya di atas masyarakat pribumi. Walaupun tidak selalu demikian kondisinya, karena banyak pula warga Tionghoa yang masih hidup dalam garis kemiskinan. Masyarakat pribumi juga menilai warga Tionghoa lebih dipercaya oleh lembaga keuangan (bank), dalam hal mendapatkan pinjaman modal usaha. Hal ini diperparah dengan sebagian warga Tionghoa yang tidak bertanggungjawab atas dana yang mereka dapatkan dari lembaga keuangan tersebut.
Setelah hampir genap satu dasawarsa reformasi berjalan di Indonesia, pemerintah ternyata belum bisa memberikan solusi yang memuaskan atas kondisi ini. Pemerintah hanya sebatas memberikan solusi formalitas belaka, seperti ijin merayakan Imlek dan mengadakan acara-acara keagamaan. Sedangkan masalah-masalah hak asasi seperti memilih agama, KTP, akta keluarga belum menunjukkan tingkat kemajuan.

Memulainya dari Agama
Pada era kepemimpinan Gus Dur, ada harapan di kalangan warga Tionghoa untuk dapat menjadi “warga Indonesia seutuhnya”. Gus Dur mengijinkan warga Tionghoa menjalankan aktifitas budaya dan keagamaan. Bahkan Gus Dur tidak segan-segan mengakui bahwa keluarganya masih keturunan Tionghoa. Akan tetapi kebijakan yang ditawarkan Gus Dur seakan jalan ditempat, karena tergesa-gesa oleh masa jabatannya yang terlalu singkat serta belum terbangunnya kesadaran masyarakat akan masalah ini. Akibatnya warga Tionghoa hanya menganggap Gus Dur dan NU saja yang mau menerima mereka menjadi bagian utuh bangsa Indonesia, sedangkan di luar Gus Dur masih dalam kondisi yang sama.
Secara garis besar, apa yang dilakukan Gus Dur dapat dicari legitimasinya dalam agama, terutama agama Islam. Dan Indonesia selaku negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia memiliki peran besar dalam memberikan solusi terhadap masalah ini. Masyarakat Indonesia juga terkenal dengan sikap ramah dan toleransinya. Maka bukan hal mustahil jika memulainya dari ajaran agama dan umatnya.
Senada dengan itu, M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa Islam tidak hanya datang untuk mengukuhkan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga mengakui eksistensi agama lain dan memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk agama lain. Sebuah contoh positif tentang pengakuan terhadap kebudayaan orang lain bisa diambil dari Nabi Muhammad. Ada hadits Nabi yang sangat populer, ”carilah ilmu walaupun hingga ke negeri Cina”. Hadits Nabi ini tentu bukan tanpa alasan dan makna. Seperti diketahui, salah satu aktifitas Nabi Muhammad adalah berdagang. Dan keahlian bangsa Cina yang paling terkenal adalah berdagang. Dalam konteks perdagangan inilah kemudian Nabi berhubungan dengan bangsa Cina, serta mengambil hal positif dari strategi berdagang bangsa Cina.
Bisa jadi strategi berdagang bangsa Cina yang menyebabkan Nabi mengeluarkan hadits tersebut. Sebagai umat muslim banyak kewajiban agama yang membutuhkan biaya, seperti shodaqoh, zakat dan naik haji. Artinya kekuatan ekonomi umat muslim akan membantu menyempurnakan keimanannya. Dan Nabi juga mengingatkan pada umatnya, sesungguhnya kemiskinan bisa mendekatkan pada kekufuran.
Masyarakat muslim Indonesia tentunya bisa berdampingan dengan warga Tionghoa. Sebaliknya warga Tionghoa semestinya juga lebih dapat membuka diri dengan warga pribumi, agar arus informasi mengenai kedua kelompok tidak sepenggal-penggal. Informasi yang utuh akan membantu menghindari kesalahan persepsi dan konflik sosial. Di samping itu, kebijakan pemerintah yang masih mendiskriditkan warga Tionghoa sudah saatnya dihapus untuk menjaga hak-hak asasi warga negara. Inilah momentum untuk merayakan Imlek agar suasana kehidupan bermasyarakat terjalin secara harmonis.

Hari raya Imlek 2559 yang jatuh pada tanggal 7 Februari 2008, adalah hari penting yang ditunggu-tunggu oleh warga Tionghoa. Mungkin bagi mereka Imlek sama pentingnya dengan tanggal 1 Hijriah atau 1 Suro bagi orang Jawa. Segala persiapan untuk menyambutnya pun tentu sudah dimatangkan jauh-jauh hari. Rumah-rumah ibadah (klenteng) mulai berbenah diri dengan hiasan lampion merah dan atribut-atribut lainnya.

Share

0 komentar: