MEWUJUDKAN HARAPAN RAKYAT DENGAN PILGUB

Minggu, 24 Februari 2008


Seiring perkembangan peradaban manusia, konsep politik pun mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dan nampaknya dunia modern saat ini menaruh harapan besar pada sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi dianggap sistem terbaik seluruh negara dunia untuk dapat mewujudkan kondisi terbaik bagi rakyatnya, dibandingkan sistem-sistem lain yang pernah ada di muka bumi. Karena itu, tidak jarang pemerintahan yang otoriter mengaku menggunakan sistem demokrasi.
Dalam konteks ini Indonesia juga memiliki pengalaman dengan demokrasi. Kata demokrasi bahkan disandingkan dengan sektor kehidupan lain diluar politik, seperti demokrasi ekonomi yang ditawarkan oleh Bung Hatta. Tidak kalah dengan Bung Hatta, Bung Karno pun pernah memberlakukan konsep Demokrasi Terpimpin pada masa-masa akhir kekuasannya. Sebagai finalnya, Indonesia kemudian mengambil sistem Demokrasi Pancasila yang multi tafsir.
Perkembangan mutakhir sistem demokrasi di Indonesia kemudian melahirkan konsep demokrasi langsung selain PEMILU, yaitu PILPRES, PILKADA dan PILGUB. Semua konsep itu menempatkan rakyat sebagai penentu utama kesuksesan sebuah hajatan politik, partai politik dan elit politisi yang bertarung didalamnya.
Akan tetapi dalam kenyataannya, PEMILU, PILPRES, PILGUB dan PILKADA yang sejatinya sebagai sarana berubah menjadi tujuan politik. Artinya setelah hajatan selesai maka selesailah tugas Partai politik dan politisinya. Sementara itu rakyat tetap saja menjadi penonton laju roda pembangunan yang setiap saat bisa menggilas mereka, tanpa mampu berbuat banyak. Atas nama pembangunan, keindahan tata kota dan banyak alasan lain rakyat harus merelakan lahan dan usahanya digusur.
Jika diamati politik sering berubah bentuk, dari sebuah sarana mewujudkan “kondisi terbaik” bagi seluruh rakyat, berubah menjadi pertarungan memperebutkan kekayaan, kekuasaan dan jabatan. Sisi gelap dari sebuah proses politik, yang tentu saja tidak bisa ditolak keberadaannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Belajar Dari Pengalaman
Rakyat Jawa Tengah sedang mempersiapkan diri menghadapi Pemilihan Gubernur (PILGUB) pada bulan Juni 2008 nanti. Mungkin sebagian masyarakat juga menggantungkan harapan akan ada perubahan signifikan dalam beberapa sektor kehidupan, terutama ekonomi.
Harapan masyarakat Jateng pada pasangan calon gubernur (cagub) tersebut kiranya tidak berlebihan. Mengingat janji-janji cagub yang mulai disosialisasikan melalui berbagai media mengisyaratkan hal serupa. Isu-isu semacam perluasan lapangan kerja, pemberantasan korupsi, prioritas pembangunan pada bidang ekonomi dan pendidikan adalah isu yang diusung para cagub. Selain itu, rakyat Jateng juga mengalami kesulitan ekonomi seperti saudara-saudaranya di daerah lain.
Janji-janji para cagub melalui berbagai media kiranya dapat dimasukkan sebagai bentuk curi start kampanye. Mengkategorikannya demikian tentu hanya akan menuai perdebatan yang tidak berkualitas. Dan seperti biasa, para cagub dan tim suksesnya akan berdalih bahwa mereka tidak melakukan kecurangan karena calon belum ditentukan atau belum diatur oleh KPU. Walaupun di beberapa daerah nampaknya berbagai macam atribut kampanye mulai ditertibkan (dicopot) oleh Pemerintah Daerah karena tidak memiliki ijin (ilegal).
Tentu ini adalah indikasi bahwa PILGUB Jateng 2008 akan menjadi ajang perebutan kekuasaan, kekayaan dan jabatan. Mengumbar janji-janji pada pra maupun saat kampanye sudah menjadi hal yang lazim bagi masyarakat. Dan pasca pemilihan, ternyata rakyat hanya menuai kekecewaan karena calon yang jadi ingkar janji. Sebuah kenyataan yang tentunya tidak diinginkan rakyat Jateng bukan?
Selanjutnya jika mengamati aliran dana kampanye dan pemilihan seorang cagub nampaknya mengindikasikan hal yang sama. Masyarakat, pemerintah, KPU dan PANWAS tidak pernah tahu persis berapa dana yang dimiliki oleh calon dan dari mana saja aliran dana tersebut. Konon seorang calon kepala daerah dalam sebuah pemilihan bisa mengeluarkan dana puluhan hingga ratusan milyar.
Dana ini digunakan calon sejak mengajukan berkas ke sebuah partai hingga pemilihan berlangsung. Logikanya jika calon menjadi Bupati, Gubernur atau Presiden, hal paling utama yang dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan dana tersebut. Selanjutnya adalah bagaimana agar mendapat keuntungan pada saat dia menjabat. Setelah itu bagaimana agar dapat terpilih kembali pada pemilihan berikutnya.
Pertanyaannya, kapan seorang Bupati, Gubernur atau Presiden akan memikirkan rakyat yang telah memilihnya? Kondisi demikian akan sangat berbeda dengan PEMILU yang akan dilaksanakan di Amerika Serikat. Jika kita mengikuti proses PEMILU di negeri Paman Sam, maka ada perbedaan metode dan implikasi metode tersebut.
Jumlah dana yang dapat dikumpulkan seorang calon presiden dan dari mana asalnya dapat diakses oleh masyarakat luas. Metode transparan demikian akan mempermudah seorang calon mendapatkan dana dari para pendukungnya. Selain itu, ini merupakan bentuk pencegahan dini terhadap korupsi, jika sang calon jadi menjabat presiden. Implikasi positif yang lebih luas adalah sang Presiden akan memikirkan rakyatnya lebih dulu karena Presiden tidak saja merasa mendapat dukungan rakyat melainkan juga mendapatkan bantuan dana dari mereka.
Membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat mungkin tidak proporsional, karena tingkat kesadaran berdemokrasi dan ekonomi kedua negara tidak berimbang. Tetapi kita mungkin dapat mengambil pelajaran bahwa metode dan proses yang baik dalam sebuah hajatan politik akan menentukan kualitas pemimpin dan pemerintahannya. Belajar dari pengalaman hajatan-hajatan politik sebelumnya, sudah saatnya cara pandang pemerintah berubah, dari mementingkan kuantitas dan hasil, menjadi lebih mementingkan proses dan kualitas

Konon kata “Politik” sudah dikenal oleh para filosof sejak pada masa Yunani kuno. Plato dan Aristoteles misalnya, adalah dua filosof besar yang pernah menaruh pondasi pemikiran dalam bidang politik. Keduanya sepakat menerjemahkan politik sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan “kondisi terbaik” bagi seluruh rakyat, dimanapun negara itu berada. Dari pemikiran para filosof tersebut, muncul pula beberapa konsep pemerintahan, termasuk demokrasi.

Share

0 komentar: