KEBIJAKAN ARTIFISIAL DALAM REKOR MURI

Senin, 03 Maret 2008


Tidak kalah dengan itu, beberapa pemerintah daerah juga terpacu untuk menorehkan rekor MURI. Diantaranya adalah Kota Pekalongan dengan batik dan Lupis ukuran raksasa, Kab. Banyumas dengan getuk goreng terbesar. Dan yang terbaru dari Kab. Pemalang dengan peserta Jalan serta sepeda sehat terbanyak pada hari Minggu, 24 Februari yang lalu pun dicatat sebagai rekor MURI.
Bagi elit politik dan orang-orang berkepentingan agenda-agenda semacam itu sangat bermanfaat, paling tidak menjadi agenda “say hello” pada masyarakat. Sekilas memang nampak merakyat, karena merupakan agenda bertemunya Bupati atau Wali Kota dengan masyarakat secara langsung. Masyarakat pun sejenak dapat melupakan masalah daerah yang belum dapat diselesaikan para elit politik tersebut.
Dari sekian banyak rekor MURI yang dapat ditorehkan oleh pemerintah daerah, muncul sejumlah pertanyaan. Berapa anggaran daerah yang dikeluarkan untuk memecahkan sebuah rekor MURI? Dan apakah rekor MURI yang dipecahkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat? Lalu siapa yang diuntungkan dengan torehan rekor MURI, pemerintah (Bupati dan Wali Kota) kah atau masyarakat?
Pertanyaan yang perlu kita renungkan, mengingat sedikitnya anggaran daerah yang benar-benar dialokasikan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Disamping karena hancurnya perekonomian masyarakat bawah karena mahalnya bahan pokok dan kelangkaan BBM. Belum lagi ketika menghadapi masalah cuaca yang menyebabkan macetnya distribusi dan memaksa petani dan nelayanmenghadapi masalah tambahan.

Menciptakan “Rekor Kualitas”
Kata “Rekor” mungkin diadopsi dari kata dalam bahasa Inggris “Record” yang berarti “catatan bagi sebuah prestasi seseorang atau kelompok masyarakat” atau “juara” (champions). Sehingga orang yang mampu meraih prestasi lebih tinggi dari pendahulunya dalam bidang yang sama, disebut pemecah rekor. Dan rekor dapat dirangkaikan dengan berbagai macam bidang kehidupan.
Pada masa Orba ada penghargaan (rekor) bagi daerah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan indah. Penghargaan ini dikenal dengan Adipura, sementara orang yang berjasa terhadap lingkungannya mendapat penghargaan Kalpataru. Pada masa dan waktu tertentu penghargaan ini memang memiliki dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. Seluruh anggota masyarakat dan pemerintah daerah berlomba-lomba menciptakan lingkungan bersih dan indah agar dapat meraih Adipura. Walaupun memang terkesan menjadi “program yang dipaksakan” kepada warganya.
Belakangan penghargaan tersebut terbukti tidak efektif dan bertentangan dengan kegiatan penebangan hutan –baik legal maupun ilegal- yang dibiarkan merajalela di Indonesia. Adipura dan Kalpataru tidak bisa menghentikan proses pengrusakan hutan dan lingkungan, hingga dampaknya kita rasakan saat ini. Yang diberikan Adipura kepada pemerintah dan masyarakat bukan kesadaran untuk mengelola dengan baik lingkungan serta berusaha melestarikannya. Akan tetapi tidak lebih dari sekedar sifat mengharap pujian dari atasan atau hanya disebut sebagai pahlawan, sifat yang dilarang bukan?.
Dari sini nampak bahwa penghargaan atau rekor yang diberikan oleh pemerintah maupun lembaga seperti MURI, hanya berorientasi pada kuantitas (seremonial) belaka bukan kualitas. Rekor akan diberikan kepada mereka yang mampu membuat benda berukuran raksasa atau mengadakan agenda yang diikuti oleh ribuan orang.
Jika dicermati sebuah rekor MURI yang mengikutsertakan ribuan massa bisa menghabiskan anggaran hingga ratusan juta rupiah. Dana yang tentunya berasal dari APBD dan seharusnya dialokasikan maksimal untuk masyarakat daerah. Jika pemerintah menginginkan, dana tersebut tentu bisa dialokasikan pada program-program pemberdayaan dan peningkatan kapasitas petani, nelayan atau sektor-sektor usaha kerakyatan lainnya.
Selain menggunakan dana ratusan juta, kegiatan tersebut tidak serta merta memberikan dampak positif bagi usaha kecil menengah. Sebagai contoh pemerintah daerah yang membuat rekor produk khas daerahnya ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi produsen. Para produsen, yang sebagian masyarakat kecil, tetap saja susah memasarkan atau mendapat bantuan modal.
Rekor MURI berfungsi sebagai “bius” pemerintah yang siap me-ninabobo-kan masyarakat dari masalah nyata yang dihadapinya. Setelah acara berlalu mereka akan kembali lagi berhadapan dengan tingginya biaya produksi dan distribusi. Sedangkan Bupati, Gubernur atau Presiden akan semakin terkenal dan merasa telah memperhatikan masyarakat. Dan ini merupakan modal bagi mereka yang ingin menjabat kembali pada Pilkada selanjutnya. Atau cara untuk menghabiskan anggaran, tidak kalah dengan kunjungan luar kota para anggota legislatif.
Menciptakan rekor MURI atau usaha mendapatkan gelar pahlawan, yang terlanjur menjadi tren, merupakan salah satu usaha seseorang menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini kita tentu tidak bisa memungkiri bahwa setiap orang ingin eksistensinya diakui oleh masyarakatnya. Tinggal bagaimana proses seseorang menunjukkan eksistensi.
Nampaknya rekor MURI tidak diberikan kepada mereka yang hanya dapat mengungguli kuantitas, tetapi dirubah pada kualitas. Seseorang yang dapat menciptakan kualitas tertinggi atau meningkatkan kualitas masyarakat tentu dengan sendirinya akan selalu dikenang oleh masyarakatnya. Sementara dengan rekor kuantitas, masyarakat akan dengan mudah melupakan jika ada orang lain yang bisa memberi lebih banyak atau lebih besar darinya.

Akhir-akhir ini nampaknya kita sering disuguhi dengan berita keberhasilan seseorang, kelompok, lembaga dan bahkan sebuah pemerintahan setingkat kabupaten memecahkan rekor Musium Rekor Indonesia (MURI). Sebut saja sebagai contoh, sebuah SPBU di Tegal yang memecahkan rekor sebagai SPBU dengan jumlah toilet terbanyak atau rumah makan di kawasan pantura dengan deretan iklan terpanjang.

Share

0 komentar: