NU Terjebak Politik?

Rabu, 12 Maret 2008


Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) sesungguhnya memiliki peran signifikan menentukan arah pembangunan. Hal ini tidak saja karena banyaknya jumlah jamiyyah, tetapi juga SDM yang dimiliki NU telah memasuki ruang-ruang politik dan pemerintahan. Sejarah membuktikan, dalam kondisi seperti apapun NU masih dapat bertahan dan tetap memberikan kontribusi dalam pembangunan.
Tetapi sebagai ormas terbesar, NU tidak lepas dari masalah. Terutama dalam menentukan sikap politiknya. Pilihan “kembali pada Khittah 1926” ternyata tidak dilaksanakan seecara konsekuen oleh Pengurus Besar hingga Pengurus Ranting. Masih banyak pengurus yang rangkap jabatan dalam organisasi sosial politik atau menggunakan NU sebagai alat memobilisasi massa pada even politik. Sebuah sinyal yang menunjukkan sikap setengah hati terhadap Khittah 1926.
Khittah 1926 memberikan amanat kepada NU untuk kembali pada bentuk organisasi sosial kemasyarakatan dan memprioritaskan pemberdayaan masyarakat atau umat. Pilihan yang didasari oleh pengalaman NU selama beberapa dasawarsa, terutama saat Orde Baru bercokol kuat di Indonesia. NU hanya disapa manakala even politik lima tahunan (Pemilu) akan digelar. Setelah even itu berlalu NU kembali merana di tengah ruwetnya masalah pembangunan dan kehidupan masyarakat yang semakin merosot.
Kondisi demikian menjadikan NU dipandang sebelah mata oleh para elit politik. NU dianggap selesai manakala para elit sudah memberikan kontribusi (dana) yang entah dari mana asalanya. Kyai-kyai NU (syuriah) kehilangan supremasinya sebagai benteng pertahanan moral bangsa. Sehingga di daerah muncul kosakata gaul “Kyai Khomsin-khomsin”, yang memberikan predikat negatif. Kyai akan manut dan diam dengan bisyaroh uang lima puluh ribuan.
NU hanya bisa bernostalgia dengan sejarah gemilang yang pernah diraihnya pada masa awal terbentuknya negara. Generasi penerusnya hanya bisa “memutar kaset lama” tanpa tahu bagaimana cara mengulang sejarah gemilang itu. NU mengalami distorsi gerakan besar-besaran dari apa yang dicita-citakan founding fathers-nya. Sementara generasi penerus NU terjebak dalam perangkap politik, menganggap politik adalah satu-satunya cara yang dapat memajukan jam’iyyah.
Dan ternyata tidak sedikit generasi NU yang menikmati perangkap politik. Sehingga kelompok yang menikmatinya akan menganggap anak-anak muda berpikiran kritis yang melakukan gerakan pemberdayaan, sudah keluar dari rel organisasi. Padahal sejarah gemilang generasi awal NU bukanlah murni hanya dalam konteks politik. Sebaliknya NU besar karena pemberdayaan masyarakat dalam bidang keagamaan, sosial, ekonomi dan budaya yang berjalan efektif.
Generasi awal NU lebih lihai menjaga jarak dengan dunia politik maupun pemerintah. Mereka tahu kapan harus mendukung pemerintah dan kapan bersuara lantang mengkritik pemerintah, tatkala menyengsarakan rakyatnya. NU kemudian menjelma sebagai organisasi yang senantiasa dipertimbangkan oleh organisasi lain maupun pemerintah negeri ini.
NU nampaknya mesti segera mengoreksi perjalanan panjangnya selama ini. Kaidah-kaidaf fiqh seperti Al muhafadhotu ‘alaa al qadimish sholih wa al akhdu bi al jadiid al ashlah yang idealnya sebagai kerangka organisasi ternyata hanya menjadi icon belaka. Mempertahankan yang sudah ada dan masih baik tidak diiringi dengan mengambil yang baru yang lebih baik.
.
Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) sesungguhnya memiliki peran signifikan menentukan arah pembangunan. Hal ini tidak saja karena banyaknya jumlah jamiyyah, tetapi juga SDM yang dimiliki NU telah memasuki ruang-ruang politik dan pemerintahan. Sejarah membuktikan, dalam kondisi seperti apapun NU masih dapat bertahan dan tetap memberikan kontribusi dalam pembangunan.

Share

0 komentar: