KEPEDULIAN AGAMA TERHADAP KEMISKINAN

Kamis, 13 Maret 2008


Kemiskinan nampaknya sudah menjadi “masalah” bersama bagi seluruh negara di dunia. Dan selama manusia masih hidup dimuka bumi, kemiskinan akan terus ada. Selama ada manusia yang kaya, maka selama itu pula akan ada manusia yang disebut miskin. Sehingga tidak mungkin menghilangkan kemiskinan dari muka bumi, sebuah hukum alam. Akan tetapi, kondisi miskin tidak serta merta dipahami sebagai takdir. Karena selain rasa ingin lepas dari kondisi miskin adalah kodrat manusia dan kondisi miskin adalah sebuah proses kehidupan.
Akan tetapi selama ini kemiskinan dilihat hanya sekedar pada ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Seharusnya kemiskinan dilihat sebagai kondisi tidak adanya kesempatan masyarakat untuk mengakses informasi, pendidikan, teknologi dan politik, serta ketidakmampuan masyarakat untuk mengaaktualisasikan diri (termasuk dalam bidang usaha). Program pengentasan kemiskinan hendaknya tidak hanya berkonsentrasi dalam meningkatkan pertumbuhan saja, tetapi juga pemerataan akses dan kesempatan. Meningkatkan pertumbuhan tanpa pemerataan akan menyebabkan proses pemiskinan dan semakin lebarnya kesenjangan sosial.
Sebuah contoh program pengentasan kemiskinan yang berawal dari cara pandang keliru adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT). Korban meninggal karena berdesak-desakan dalam antrian BLT, pengurus Kelurahan hingga RT yang menjadi korban amukan massa karena dinilai tidak adil, hingga pembakaran balai desa adalah contoh kegagalan program BLT. Dampak BLT yang paling besar adalah semakin rusaknya mental masyarakat dan pejabat.
Disatu sisi, pemerintah tengah berusaha keras menghadirkan investor, terutama investor asing. Walaupun beberapa pengalaman kerjasama dengan investor asing menyebabkan kondisi tidak menyenangkan bagi masyarakat. Sebut saja kasus Freeport yang menggondol sebagian besar emas di tanah papua dan meninggalkan konflik horizontal. Demikian pula kasus limbah PT. Neumont di Buyat yang memakan korban dari kalangan masyarakat bawah. Bangsa ini hanya bisa menyaksikan sumber daya miliknya sebagian besar dinikmati oleh orang luar tanpa bisa berbuat banyak.
Kesadaran akan hal itu mungkin baru muncul ketika bangsa ini mengalami penurunan ketahanan pangan masyarakat akhir-akhir ini. Selama ini petani dan nelayan seolah terlupakan. Kurangnya jaminan pemerintah pada sektor pertanian dan perikanan menjadi penyebab utama masyarakat beralih profesi. Akibatnya potensi-potensi desa dan laut yang menyokong ketahanan pangan tidak tergali optimal bahkan ditinggalkan. Desa menjadi kantong-kantong besar kemiskinan.
Sebuah kondisi ironis, mengingat bangsa ini adalah bangsa agraris. Kebutuhan petani dan nelayan tidak hanya terletak pada pemenuhan pangan atau subsidi. Kebutuhan yang lebih banyak dan menentukan sebenarnya ada dalam konteks pasca produksi (penjualan), distribusi dan akses mereka terhadap kebijakan politik. Jika cara pandang pemerintah terhadap kemiskinan masih sekedar memenuhi kebutuhan pangan dan sandang, akan sulit bangsa ini keluar dari krisis.

Mengemas Agama Untuk Merubah Sistem Penindas
Menanggulangi kemiskinan tentu tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah saja. Akan tetapi pengentasan kemiskinan merupakan tanggungjawab seluruh masyarakat dimana saja dan kapan saja. Sebagai individu beragama dan hidup dalam masyarakat yang beragama, melakukan sesuatu untuk mengentaskan kemiskinan adalah kewajiban kemanusiaan dan agama.
Sebagaimana yang dipaparkan oleh KH. Hasyim Muzadi dalam Forum global Consultation di markas PBB, New york, beberapa waktu lalu. Ketua Umum PBNU sekaligus Presiden World Conference of Religion for Peace (WCRP) dan Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) itu menyatakan bahwa agama harus meningkatkan perannya dalam mengatasi masalah kemiskinan di dunia. Ini merupakan sinyal positif yang datang dari kalangan agamawan, dan seluruh agama sejatinya adalah agama yang anti kemiskinan.
Agama tentu tidak dipahami sekedar sebagai kegiatan ritual menyembah Sang Pencipta. Lebih dari itu, agama bersifat sangat progresif dalam menghadapi masalah-masalah sosial umatnya. Rasul atau Nabi yang diutus di muka bumi memiliki misi besar membebaskan masyarakat dari penindasan. Nabi Muhammad, Nabi Musa, Nabi Isa, Konfusius, Budha adalah inspirator besar pembebasan yang membawa komunitas tertindas menjadi komunitas yang merdeka.
Para utusan Tuhan ini memulai misi dakwahnya dari komunitas tertindas, bukan dari komunitas yang mapan (penindas). Mereka tidak sekedar berempati atau simpati pada kesengsaraan yang dialami komunitasnya. Membawa perubahan dan membebaskan dari sistem penindasan, serta mewujudkan sistem yang berkeadilan sosial sesuai perintah Tuhan adalah misi utama yang mereka emban.
Agama menempatkan masyarakat tertindas (miskin) dalam posisi yang terhormat. Do’a orang miskin merupakan salah satu penyokong kemakmuran negara, selain ilmu para agamawan, keadilan pemerintah dan kedermawanan orang kaya. Tidak adanya perhatian dari ketiga golongan terakhir adalah bentuk kelalaian tugas kemanusiaan dan beragama. Idealnya para ilmuwan dan agamawan mencari terobosan mengkampanyekan perubahan, pemerintah bertugas menyelenggarakan pemerintahan yang berkeadilan dan kesejahteraan.
Kondisi miskin dan kelalaian memperhatikan masyarakat miskin akan menambah jumlah masalah yang harus diselesaikan bangsa. Kemiskinan akan menyebabkan orang akan melakukan apapun –termasuk tindakan negatif- supaya dapat bertahan hidup. Meningkatnya kasus kriminalitas di tengah masyarakat pemicunya adalah masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial. Kemiskinan menyebabkan individu melupakan hukum negara bahkan ajaran agama yang melarang mereka berbuat aniaya terhadap orang lain.
Sayangnya, ajaran agama yang agung dan indah tentang perhatian terhadap orang miskin menjadi tidak populer. Porsi ajaran yang disampaikan lebih banyak pada ibadah ritual belaka. Larangan agama yang sering disampaikan pun hanya sebatas larangan meninggalkan ritual rutin tersebut. Hukuman dan ancaman bagi mereka yang lalai terhadap masyarakat miskin, pemerintah yang tidak adil, hampir musnah dalam dakwah keagamaan.
Metode yang dipilih agama dalam membela masyarakat miskin tentunya bukan metode yang menghalalkan segala cara, seperti tindakan kekerasan. Metode yang digunakan haruslah memanusiakan manusia dan sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam sebuah pemerintahan. Bahwa setiap individu pada dasarnya (fitrah) adalah manusia yang baik. Penindasan yang dilakukan oleh individu lebih dipahami sebagai pengaruh faktor-faktor ekternal. Sehingga perubahan dipahami bukan sebagai pergantian kepemimpinan yang dianggap menindas saja, tetapi perubahan sistem yang menindas.
Agama harus mengambil kembali peran strategisnya sebagai benteng moral dan kemanusiaan. Di Indonesia, agamawan memiliki potensi besar mengajak umatnya –terutama yang duduk di pemerintahan- melakukan gerakan kepedulian terhadap masyarakat miskin. Tentu bukan hanya sekedar simpati dan empati saja, melainkan pada pemerataan akses, keempatan dan membawa perubahan dari sistem yang menindas pada sistem yang adil.
Tuhan telah menyelenggarakan bumi untuk kesejahteran manusia sekaligus memilih manusia untuk menjadi pemimpin. Ketidakadilan, penindasan, kerusakan bumi merupakan bentuk pengingkaran terhadap fitrah manusia. Sebaliknya, mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan pelestarian bumi merupakan kewajiban setiap manusia, khususnya manusia yang beragama.

Kemiskinan nampaknya sudah menjadi “masalah” bersama bagi seluruh negara di dunia. Dan selama manusia masih hidup dimuka bumi, kemiskinan akan terus ada. Selama ada manusia yang kaya, maka selama itu pula akan ada manusia yang disebut miskin. Sehingga tidak mungkin menghilangkan kemiskinan dari muka bumi, sebuah hukum alam. Akan tetapi, kondisi miskin tidak serta merta dipahami sebagai takdir. Karena selain rasa ingin lepas dari kondisi miskin adalah kodrat manusia dan kondisi miskin adalah sebuah proses kehidupan.

Share

0 komentar: