BENCANA DAN PENINGKATAN SPIRITUALITAS MANUSIA

Jumat, 05 November 2010

Bencana beruntun yang menimpa Indonesia belakangan ini menarik banyak pakar memprediksi penyebabnya. Seakan bencana telah menjadi “nomor buntut”, meski tidak ada hadiahnya. Mulai ilmuan, agamawan hingga pakar kebatinan memberikan prediksi yang, mohon maaf, kadang-kadang membingungkan. Versi ilmuan misalnya, bencana terjadi karena lempengan bumi masih labil sehingga terus bergerak mencari posisi ideal atau stabil. Berbeda dengan ilmuan, tokoh agama menganggap manusia modern semakin ndableg dengan kewajiban agama dan tidak takut dosa. Sementara pakar kebatinan mengatakan, manusia tidak lagi menghargai bumi dan arwah leluhur. Sudah melupakan bahkan berani mencemooh trdisi persembahan untuk bumi dan arwah.

Bencana beruntun yang menimpa Indonesia belakangan ini menarik banyak pakar memprediksi penyebabnya. Seakan bencana telah menjadi “nomor buntut”, meski tidak ada hadiahnya. Mulai ilmuan, agamawan hingga pakar kebatinan memberikan prediksi yang, mohon maaf, kadang-kadang membingungkan. Versi ilmuan misalnya, bencana terjadi karena lempengan bumi masih labil sehingga terus bergerak mencari posisi ideal atau stabil. Berbeda dengan ilmuan, tokoh agama menganggap manusia modern semakin ndableg dengan kewajiban agama dan tidak takut dosa. Sementara pakar kebatinan mengatakan, manusia tidak lagi menghargai bumi dan arwah leluhur. Sudah melupakan bahkan berani mencemooh trdisi persembahan untuk bumi dan arwah.
Setiap orang tentu boleh mengutarakan pendapat dan pemikirannya tentang penyebab utama bencana. Teori bencana versi ilmuan, agamawan dan pakar kebatinan bisa saja benar salah satunya atau bahkan benar semuanya. Tetapi tidak menutup kemungkinan prediksi tiga kelompok tersebut salah semua. Kebenaran dalam konteks ini tentunya sangat subyektif, tergantung cara pandang pendengar atau pembaca prediksi masing masing kelompok. Dan dari semua prediksi tiga kelompok di atas, ada satu titik temu yang mungkin bisa membenarkan prediksi semua kelomok. Titik temu tersebut adalah faktor kesalahan manusia atau human error. Manusia kurang mempersiapkan diri terhadap ancaman bencana karena terlalu enjoy dengan kehidupan duniawinya sendiri serta tidak sayang dan hormat lagi pada bumi.
Sikap enjoy manusia dengan kehidupan duniawinya sendiri dan tidak sayang terhadap bumi inilah penyebab utama bencana besar yang menimpa Indonesia. Manusia enjoy (menikmati) hasil bumi seenaknya tapi lupa melestarikannya, menikmati hak tetapi melupakan kewajibannya. Banjir bandang contohnya, terjadi karena manusia terlalu menikmati hasil penebangan kayu sehingga lupa menanam dan melestarikan hutan. Perilaku demikian adalah bentuk kesombongan manusia terhadap kuasa Tuhan yang memberikan hak pemanfaatan sumber daya bumi.
Degradasi moral dan spiritual manusia modern terpampang jelas dari bencana beruntun yang menimpa kita. Berbeda dengan manusia tradisional yang mereka anggap kuno, terbelakang dan tertinggal jauh peradaban. Padahal sejatinya manusia modern, dan kita yang merasa modern, berhutang harta benda bahkan nyawa pada manusia tradisional. Mereka yang dicemooh merupakan penjaga tradisi bumi, sungai dan laut, bahkan menganggap bumi layaknya ibu yang melahirkan dan merawat mereka. Jangankan menebang hutan besar-besaran (illegal loging) seperti dilakukan cukong-cukong kayu modern, untuk buang air di bawah pohon rindang atau kebun pun harus mengucapkan kalimat permisi. Sebuah sikap yang mengartikan kesopanan, penghormatan dan kasih sayang terhadap alam.
Andai saja bencana bisa memilih siapa korbannya pastilah cukong-cukong kayu dan pejabat yang bekerjasama dengannya adalah pilihan utama bencana. Mbah Maridjan misalnya, tokoh adat sekaligus agama (Islam) yang konon tidak pernah lelah mengajak penduduk desa Kinahrejo selalu iling pada Yang Maha Kuasa dan menghormati alam dengan melakukan tradisi spiritual yang mereka yakini. Toh bencana masih menghampiri sekaligus menjemput ajal mereka. Justifikasi beberapa pihak terhadap kelalaian manusia terhadap Tuhan dan alam tidak selamanya benar, terutama jika melihat bencana yang menimpa Mbah Maridjan dan penduduk desa Kinahrejo.
Dengan demikian bencana alam perlu klasifikasi dan klarifikasi agar tidak menimbulkan salah persepsi. Pertama, bencana yang semata-mata disebabkan oleh kerakusan manusia. Bencana dalam kelas ini diantaranya adalah banjir bandang, tanah longsor, abrasi dan global warming. Kedua, bencana yang memang sudah menjadi watak alam dan waktu terjadinya tergantung kehendak Yang Maha Kuasa. Diantara bencana yang masuk kategori ini seperti Tsunami dan gunung meletus. Dari kedua jenis tadi manusia ternyata memiliki andil terbanyak sebagai penyebab utama bencana. Dzikir atau apapun aktifitas manusia untuk mengingat Tuhan dan ritual persembahan terhadap bumi yang dilupakan manusia bukanlah penyebab utama bencana. Melainkan karena dzikir dan ritual tersebut tidak menyatu hingga ke dalam alam bawah sadar manusia, sekedar lips service atau kata orang Jawa “nggo pantes-pantes”.
Bencana adalah peringatan kepada manusia agar kembali pada jalan yang benar, ternyata masih slogan belaka. Bukankah sudah tidak terhitung lagi berapa kali peringatan diberikan kepada kita. Penebang hutan (cukong kayu) masih saja menikmati hasil pekerjaannya, korupsi semakin merajalela dan pemegang wewenang negara dengan lahapnya berpesta di atas penderitaan rakyatnya. Lebih ironis lagi ketika aktifitas menyeleweng tadi semakin tumbuh subur di tengah-tengah merebaknya jama’ah dzikir -yang tentu saja banyak pejabat negara ikut di dalamnya- terutama di kota-kota besar. Tidak tanggung-tanggung acara dzikir bersama, barangkali karena banyak pejabat negara ikut dzikir, disiarkan secara langsung di media massa elektronik. Putaran tasbih dan kalimat taubat nampak belum seutuhnya membawa manusia sadar akan kesalahannya sekaligus berusaha membenahinya.
Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan tradisi-tradisi ritual seperti sedekah bumi atau sedekah laut. Ritual sedekah bumi dan laut sudah mengalami banyak pengikisan makna menjadi sekedar acara sesaji. Kata “sedekah” diambil dari bahasa Arab yang bermakna “memberikan sesuatu yang bermanfaat”. Jika disandingkan dengan bumi atau laut maknanya akan menjadi “memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk bumi atau laut”. Sedekah seharusnya memiliki makna yang sangat luas, karena sesuatu yang bermanfaat tidak terbatas pada sesaji, bahkan lebih dalam lagi, yaitu “memberikan perhatian, penghormatan dan perlakuan penuh kasih sayang terhadap bumi dan atau laut”.
Akhirnya semua kembali pada penafsiran setiap individu dalam melihat bencana. Bagi ilmuan, jadikan bencana sebagai pijakan mengembangkan pengetahuan dan perhitungan yang lebih cepat dan akurat tanda-tandanya sehingga matang dalam persiapan menghadapi bencana. Persiapan menghadapi bencana dalam hal ini tentunya tidak bisa diartikan sebagai kesombongan manusia menantang kehendak-Nya. Disebut bencana tentu saja karena ada korban (harta benda dan atau nyawa) dalam peristiwa tersebut, tidak disebut bencana jika tidak ada korban. Persiapan bencana akan lebih tepat jika dimaknai sebagai usaha manusia mengurangi jumlah korban dalam peristiwa bencana. Sementara bagi agamawan dan pakar kebatinan, idealnya bencana dimaknai sebagai peringatan dari Tuhan bahwa ber-dzikir atau ritual tradisi harusnya selalu diiringi dengan berpikir dan beramal sholeh. Tentu saja semua dengan niat yang tulus mengurangi resiko terjadinya bencana serta melestarikan kehidupan semua makhluk di bumi. Dan karena sesungguhnya Tuhan lebih dekat dari urat nadi, bukan sebaliknya, Setan lebih dekat dari urat nadi, wallahu a’lam bi ash showaab.
.

Share

0 komentar: