Membalikkan Struktur “D-M” menjadi “M-D”

Rabu, 29 Juni 2011

Konon bahasa yang kita gunakan sehari-hari telah mengalami proses sejarah sangat panjang. Salah satu penelitian bahkan memastikan proses pembentukan bahasa sebuah bangsa, memakan waktu ribuan tahun. Proses yang dialami bahasa tentu tidak lepas dari kondisi alam dan sosial tempat berkembangnya bahasa. Misalnya, masyarakat yang tinggal di daerah panas seperti kawasan pesisir pantai, biasanya nada bicaranya tinggi dan keras.

Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah beriklim dingin atau tinggal di daerah pegunungan, cenderung rendah dan santai. Demikian orang yang sering bicara kasar atau kotor, biasanya memiliki watak dan perilaku tidak jauh beda dari cara dan gaya bicaranya. Meskipun penilaian tersebut tidak sepenuhnya pasti dan benar.

Jujur tulisan ini tidak bermaksud membahas sejarah bahasa yang tidak pernah saya pelajari apalagi kuasai ilmunya. Hanya mencoba bertanya sekaligus menjawab, barangkali seperti orang gila, adakah hubungannya struktur bahasa (atau apalah tepatnya) dengan perilaku manusia?

Struktur “D-M” Elite Class

Seingat saya, guru bahasa semasa di sekolah menengah, pernah mengajarkan bahwa struktur bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia menganut madzhab “D-M” atau Diterangkan-Menerangkan, bahasa Inggris kebalikannya, “M-D” atau Menerangkan-Diterangkan. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, Mobil (D) Besar (M) sedangkan dalam bahasa Inggris, Big (M) Car (D). “Diterangkan” yang saya maksud adalah “sesuatu yang non-fungsi“ jika tanpa tambahan “Menerangkan” atau “sesuatu yang memberi fungsi”.

Lalu pertanyaannya, apa hubungannya struktur bahasa Indonesia dengan perilaku manusia Indonesia?

Dalam kehidupan masyarakat elit, sekali lagi menurut penulis, ada persaman struktur bahasa dengan perilaku mereka. Kasus terhangat misalnya, wakil rakyat (DPR dan DPD) lebih bernafsu membuat gedung terlebih dahulu daripada rapatnya, atau jika rapat disambi tidur bahkan nonton Blue Film. Gedung barangkali bisa disebut sebagai “D”, selanjutnya rapat disamakan dengan “M”.

Endingnya ketika sebagian besar rakyat menolak proyek gedung baru senilai triliunan rupiah, barulah berbagai alasan dilontarkan. Mulai alasan kebutuhan hingga kenyamanan kerja, cuap-cuap para wakil rakyat pun segera menjejali surat kabar dan televisi. Lucunya, setelah berhari-hari ramai menjejali media massa, sebagian besar cuci tangan dan tidak merasa bertanggungjawab dengan keputusan “Gedung Baru”.

Demikian halnya kasus TKW yang dihukum pancung Arab Saudi. Baik Bapak Presiden dan Menteri Tenaga Kerja lebih dulu membuat Badan Nasional urusan TKI, kalau tidak salah BNP2TKI (Diterangkan), sementara penyelesaian kasus hukum TKI (Menerangkan) masih tanda tanya. Sekali lagi endingnya para elit dengan enteng mengatakan “kecolongan”, seolah nyawa manusia tidak ada harganya.

Bandingkan dengan kerja pemerintah Australia dalam melindungi sapi asal negaranya. Sapi-sapi Australia yang dibunuh secara sadis oleh orang Indonesia, meski konon sadis tersebut versi mereka, segera turun keputusan menghentikan pengiriman sapi ke beberapa rumah jagal di Indonesia. Toh Australia tidak perlu lebih dahulu membuat Badan Nasional urusan sapi. Cukup pantau sapinya lalu buat kebijakannya.

Struktur “M-D” Lower Class

Untung saja perilaku elit bertolak belakang dengan perilaku masyarakat bawah atau lower. Masyarakat bawah jika saya amati cenderung menggunakan struktur M-D atau “Menerangkan-Diterangkan”. Kelas bawah di sekitar kita lebih mementingkan kerja atau tindakan daripada formalitas belaka.

Nelayan misalnya, ditengah mahalnya harga solar dan cuaca yang tidak menentu, mencari ikan (Menerangkan) lebih penting dari hasil tangkapan (Diterangkan). Peduli amat dengan ramalan cuaca BMKG, sistem bagi hasil dan permainan harga atau pungutan liar di Tempat Pelelangan Ikan. Bagi nelayan mencari ikan adalah kewajiban sekaligus bentuk tanggungjawab kepada keluarga meski kadang nyawa taruhannya.

Sebagaimana petani, kelangkaan pupuk yang berimbas pada naiknya harga pupuk dan serangan hama, menanam (Menerangkan) lebih berharga dari hasil dan harga panenan (Diterangkan). Tidak jarang demi menjaga ketersediaan pangan, petani berhutang pada lintah darat. Petani tidak perduli terhadap kebijakan pemerintah menambah jumlah impor beras. Bagi petani menanam adalah hidup, tidak menanam sama halnya mematikan kehidupan.

Menerangkan memberikan arti sekaligus fungsi kepada yang Diterangkan, setidaknya itu yang ada di kepala saya. Selama tidak ada pembalikan D-M menjadi M-D barangkali hasilnya, mengambil jargon sebuah acara komedi di salah satu stasiun TV, akan “Selaluuuu begitu”.
.

Share >>>

BENCANA DAN PENINGKATAN SPIRITUALITAS MANUSIA

Jumat, 05 November 2010

Bencana beruntun yang menimpa Indonesia belakangan ini menarik banyak pakar memprediksi penyebabnya. Seakan bencana telah menjadi “nomor buntut”, meski tidak ada hadiahnya. Mulai ilmuan, agamawan hingga pakar kebatinan memberikan prediksi yang, mohon maaf, kadang-kadang membingungkan. Versi ilmuan misalnya, bencana terjadi karena lempengan bumi masih labil sehingga terus bergerak mencari posisi ideal atau stabil. Berbeda dengan ilmuan, tokoh agama menganggap manusia modern semakin ndableg dengan kewajiban agama dan tidak takut dosa. Sementara pakar kebatinan mengatakan, manusia tidak lagi menghargai bumi dan arwah leluhur. Sudah melupakan bahkan berani mencemooh trdisi persembahan untuk bumi dan arwah.

Bencana beruntun yang menimpa Indonesia belakangan ini menarik banyak pakar memprediksi penyebabnya. Seakan bencana telah menjadi “nomor buntut”, meski tidak ada hadiahnya. Mulai ilmuan, agamawan hingga pakar kebatinan memberikan prediksi yang, mohon maaf, kadang-kadang membingungkan. Versi ilmuan misalnya, bencana terjadi karena lempengan bumi masih labil sehingga terus bergerak mencari posisi ideal atau stabil. Berbeda dengan ilmuan, tokoh agama menganggap manusia modern semakin ndableg dengan kewajiban agama dan tidak takut dosa. Sementara pakar kebatinan mengatakan, manusia tidak lagi menghargai bumi dan arwah leluhur. Sudah melupakan bahkan berani mencemooh trdisi persembahan untuk bumi dan arwah.
Setiap orang tentu boleh mengutarakan pendapat dan pemikirannya tentang penyebab utama bencana. Teori bencana versi ilmuan, agamawan dan pakar kebatinan bisa saja benar salah satunya atau bahkan benar semuanya. Tetapi tidak menutup kemungkinan prediksi tiga kelompok tersebut salah semua. Kebenaran dalam konteks ini tentunya sangat subyektif, tergantung cara pandang pendengar atau pembaca prediksi masing masing kelompok. Dan dari semua prediksi tiga kelompok di atas, ada satu titik temu yang mungkin bisa membenarkan prediksi semua kelomok. Titik temu tersebut adalah faktor kesalahan manusia atau human error. Manusia kurang mempersiapkan diri terhadap ancaman bencana karena terlalu enjoy dengan kehidupan duniawinya sendiri serta tidak sayang dan hormat lagi pada bumi.
Sikap enjoy manusia dengan kehidupan duniawinya sendiri dan tidak sayang terhadap bumi inilah penyebab utama bencana besar yang menimpa Indonesia. Manusia enjoy (menikmati) hasil bumi seenaknya tapi lupa melestarikannya, menikmati hak tetapi melupakan kewajibannya. Banjir bandang contohnya, terjadi karena manusia terlalu menikmati hasil penebangan kayu sehingga lupa menanam dan melestarikan hutan. Perilaku demikian adalah bentuk kesombongan manusia terhadap kuasa Tuhan yang memberikan hak pemanfaatan sumber daya bumi.
Degradasi moral dan spiritual manusia modern terpampang jelas dari bencana beruntun yang menimpa kita. Berbeda dengan manusia tradisional yang mereka anggap kuno, terbelakang dan tertinggal jauh peradaban. Padahal sejatinya manusia modern, dan kita yang merasa modern, berhutang harta benda bahkan nyawa pada manusia tradisional. Mereka yang dicemooh merupakan penjaga tradisi bumi, sungai dan laut, bahkan menganggap bumi layaknya ibu yang melahirkan dan merawat mereka. Jangankan menebang hutan besar-besaran (illegal loging) seperti dilakukan cukong-cukong kayu modern, untuk buang air di bawah pohon rindang atau kebun pun harus mengucapkan kalimat permisi. Sebuah sikap yang mengartikan kesopanan, penghormatan dan kasih sayang terhadap alam.
Andai saja bencana bisa memilih siapa korbannya pastilah cukong-cukong kayu dan pejabat yang bekerjasama dengannya adalah pilihan utama bencana. Mbah Maridjan misalnya, tokoh adat sekaligus agama (Islam) yang konon tidak pernah lelah mengajak penduduk desa Kinahrejo selalu iling pada Yang Maha Kuasa dan menghormati alam dengan melakukan tradisi spiritual yang mereka yakini. Toh bencana masih menghampiri sekaligus menjemput ajal mereka. Justifikasi beberapa pihak terhadap kelalaian manusia terhadap Tuhan dan alam tidak selamanya benar, terutama jika melihat bencana yang menimpa Mbah Maridjan dan penduduk desa Kinahrejo.
Dengan demikian bencana alam perlu klasifikasi dan klarifikasi agar tidak menimbulkan salah persepsi. Pertama, bencana yang semata-mata disebabkan oleh kerakusan manusia. Bencana dalam kelas ini diantaranya adalah banjir bandang, tanah longsor, abrasi dan global warming. Kedua, bencana yang memang sudah menjadi watak alam dan waktu terjadinya tergantung kehendak Yang Maha Kuasa. Diantara bencana yang masuk kategori ini seperti Tsunami dan gunung meletus. Dari kedua jenis tadi manusia ternyata memiliki andil terbanyak sebagai penyebab utama bencana. Dzikir atau apapun aktifitas manusia untuk mengingat Tuhan dan ritual persembahan terhadap bumi yang dilupakan manusia bukanlah penyebab utama bencana. Melainkan karena dzikir dan ritual tersebut tidak menyatu hingga ke dalam alam bawah sadar manusia, sekedar lips service atau kata orang Jawa “nggo pantes-pantes”.
Bencana adalah peringatan kepada manusia agar kembali pada jalan yang benar, ternyata masih slogan belaka. Bukankah sudah tidak terhitung lagi berapa kali peringatan diberikan kepada kita. Penebang hutan (cukong kayu) masih saja menikmati hasil pekerjaannya, korupsi semakin merajalela dan pemegang wewenang negara dengan lahapnya berpesta di atas penderitaan rakyatnya. Lebih ironis lagi ketika aktifitas menyeleweng tadi semakin tumbuh subur di tengah-tengah merebaknya jama’ah dzikir -yang tentu saja banyak pejabat negara ikut di dalamnya- terutama di kota-kota besar. Tidak tanggung-tanggung acara dzikir bersama, barangkali karena banyak pejabat negara ikut dzikir, disiarkan secara langsung di media massa elektronik. Putaran tasbih dan kalimat taubat nampak belum seutuhnya membawa manusia sadar akan kesalahannya sekaligus berusaha membenahinya.
Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan tradisi-tradisi ritual seperti sedekah bumi atau sedekah laut. Ritual sedekah bumi dan laut sudah mengalami banyak pengikisan makna menjadi sekedar acara sesaji. Kata “sedekah” diambil dari bahasa Arab yang bermakna “memberikan sesuatu yang bermanfaat”. Jika disandingkan dengan bumi atau laut maknanya akan menjadi “memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk bumi atau laut”. Sedekah seharusnya memiliki makna yang sangat luas, karena sesuatu yang bermanfaat tidak terbatas pada sesaji, bahkan lebih dalam lagi, yaitu “memberikan perhatian, penghormatan dan perlakuan penuh kasih sayang terhadap bumi dan atau laut”.
Akhirnya semua kembali pada penafsiran setiap individu dalam melihat bencana. Bagi ilmuan, jadikan bencana sebagai pijakan mengembangkan pengetahuan dan perhitungan yang lebih cepat dan akurat tanda-tandanya sehingga matang dalam persiapan menghadapi bencana. Persiapan menghadapi bencana dalam hal ini tentunya tidak bisa diartikan sebagai kesombongan manusia menantang kehendak-Nya. Disebut bencana tentu saja karena ada korban (harta benda dan atau nyawa) dalam peristiwa tersebut, tidak disebut bencana jika tidak ada korban. Persiapan bencana akan lebih tepat jika dimaknai sebagai usaha manusia mengurangi jumlah korban dalam peristiwa bencana. Sementara bagi agamawan dan pakar kebatinan, idealnya bencana dimaknai sebagai peringatan dari Tuhan bahwa ber-dzikir atau ritual tradisi harusnya selalu diiringi dengan berpikir dan beramal sholeh. Tentu saja semua dengan niat yang tulus mengurangi resiko terjadinya bencana serta melestarikan kehidupan semua makhluk di bumi. Dan karena sesungguhnya Tuhan lebih dekat dari urat nadi, bukan sebaliknya, Setan lebih dekat dari urat nadi, wallahu a’lam bi ash showaab.
.

Share >>>

KOMUNIKASI POLITIK DALAM PEMILUKADA PEMALANG

Rabu, 03 November 2010

Tanggal 31 Oktober 2010 yang lalu menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Pemalang. Pada hari itu masyarakat akan menentukan siapa yang akan menjadi Bupati dan Wakil Bupati untuk masa lima tahun mendatang. Ada empat pasangan calon yang lolos dalam seleksi dan bertarung menjadi orang nomor satu dan dua di Kabupaten Pemalang. Keempat pasangan terdiri dari beragam profesi, mulai dari kalangan birokrasi, tokoh perempuan, profesional hingga pengusaha.

Tanggal 31 Oktober 2010 yang lalu menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Pemalang. Pada hari itu masyarakat akan menentukan siapa yang akan menjadi Bupati dan Wakil Bupati untuk masa lima tahun mendatang. Ada empat pasangan calon yang lolos dalam seleksi dan bertarung menjadi orang nomor satu dan dua di Kabupaten Pemalang. Keempat pasangan terdiri dari beragam profesi, mulai dari kalangan birokrasi, tokoh perempuan, profesional hingga pengusaha.
Terlepas dari calon mana yang akan menang pada Pemilukada Kabupaten Pemalang, dan memang bukan porsi penulis memprediksi siapa pemenangnya, ada hal menarik untuk diamati. Terutama strategi penggalangan dan komunikasi politik yang digunakan oleh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pemalang. Dua hal tersebut menarik karena memiliki implikasi yang cukup signifikan bagi pembangunan Kabupaten Pemalang lima tahun kedepan.
Acara Debat Publik Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pemalang yang diprakarsai oleh KPU Kabupaten Pemalang pada tanggal 19 Oktober 2010 lalu, bisa menjadi gambaran strategi penggalangan dan pola komunikasi yang digunakan calon Bupati dan tim suksesnya. Pertama, Debat Publik Calon Bupati dan Wakil Bupati mayoritas dihadiri oleh Pegawai Negeri Sipil dan Kepala Desa. Kondisi ini menunjukkan bahwa Pemilukada masih sebatas isu di tingkat elit politik. Kedua, jawaban yang dilontarkan calon Bupati atas pertanyaan panelis masih mengambang dan tidak fokus pada pertanyaan. Terutama yang berkaitan dengan isu-isu dasar seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan KKN di lingkungan SKPD.
Jika dilihat dari mayoritas audience yang hadir adalah PNS dan Kepala Desa, bisa diasumsikan bahwa PNS, Kepala Desa dan perangkatnya menjadi salah satu pilihan utama “mesin” penggalangan massa. Asumsi ini berdasarkan karakteristik pemilih (voter) dalam “hajatan politik” seperti Pemilukada. Diantara karakteristik pemilih diantaranya adalah massa ideologis dan massa pragmatis-transaksional, pemilih kritis-transformatif. Massa Ideologis adalah massa pendukung partai politik atau memiliki kedekatan dengan tokoh partai politik. Pilihan massa ideologis sesuai dengan pilihan partai atau tokohnya. Sedangkan massa pragmatis-transaksional basisnya di kantong-kantong kemiskinan dimana pilihan politiknya sangat ditentutan oleh apa yang mereka dapatkan saat ini. Sementara kalangan menengah ke atas dan terdidik, yang pastilah jumlahnya minoritas, akan mendukung calon Bupati jika dianggap bisa mewujudkan atau merepresentasikan kepentingan mereka.
Kepentingan dalam konteks Pemilukada motifnya sangat variatif, mulai dari kepentingan politik, ekonomi hingga sosial terangkum di dalamnya. Akan tetapi dalam sebuah suksesi kepala daerah kepentingan masyarakat, terutama masyarakat bawah, menjadi prioritas utama. Pemilukada tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan saja, tetapi untuk mewujudkan harapan masyarakat. Wacana dan isu Pemilukada pun tidak hanya sebatas pada kalangan elit politik, melainkan menjadi isu bersama seluruh masyarakat. Masalah seperti tingginya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran serta mahalnya biaya pendidikan adalah menu utama yang mestinya menjadi perhatian utama. Pilihan masyarakat pada salah satu calon mengisyaratkan harapan terwujudnya pembangunan yang lebih baik dan penyelesaian masalah dasar di atas.
Dari wacana yang dikembangkan oleh pasangan calon Bupati nampak ada kesenjangan wacana antara kalangan menengah dan elit politik dengan masyarakat bawah. Wacana pembangunan calon Bupati hanya berdasarkan kaca mata masing-masing calon yang tertuang dalam visi-misi bukan dari masalah lokal daerah. Alasan masyarakat memilih salah satu pasangan calon misalnya, tidak berdasarkan atas apa yang akan dilakukan calon Bupati ketika terpilih. Bahkan mayoritas calon pemilih tidak mengetahui visi dan misi calon Bupati pilihannya. Alasan masyarakat memilih calon Bupati hanya berdasarkan popularitas, figur calon Bupati dan “berapa” yang akan diberikannya.
Strategi menjual figur calon biasanya akan lebih efektif jika didukung dengan black campaign terhadap calon lain yang dianggap pesaing utama. Misalnya isu kedaerahan (putra daerah) dan isu calon yang menjadi penerus rezim terdahulu (status quo) yang sempat berkembang di masyarakat. Strategi dan pilihan wacana tersebut tentunya merupakan pendidikan politik yang negatif serta akan menciptakan kondisi politik yang tidak sehat. Tidak sehatnya kondisi politik berpotensi menciptakan konflik politik yang berujung pada chaos (kerusuhan) di level bawah. Dan tentunya hal yang demikian tidak diinginkan oleh semua pihak.
Konflik horizontal dalam momen Politik seperti Pemilukada semestinya bisa dihindari, jika pola komunikasi dan pendekatan pada massa pendukung mengedepankan visi-misi dan proyeksi pembangunan sang calon. Pola komunikasi dan pendekatan yang relatif sehat bisa kita amati dalam momen Pilkades (Pemilihan Kepala Desa), meski tidak semuanya demikian. Biasanya pendekatan yang dibangun dalam momen Pilkades adalah pendekatan kekeluargaan. Sementara komunikasi politiknya berdasarkan masalah dan kebutuhan masyarakat desa serta program pembangunan yang akan dijalankan oleh Kepala Desa. Masyarakat mengenal betul calon Kepala Desa yang akan dipilihnya dan program pembangunan yang menjadi prioritas sang calon.
Bukan hal mustahil pola komunikasi dan pendekatan seperti dalam momen Pilkades digunakan dalam konteks yang lebih besar seperti Pemilukada. Pendekatan dan komunikasi politik dibangun atas dasar kekeluargaan dan kebutuhan masyarakat terhadap pemimpin. Pilihan masyarakat tidak karena figur calon saja, tetapi program pembangunan dan kebijakan yang akan diambilnya. Dengan demikian pemenang Pemilukada bukan calon yang hanya memiliki kekuatan dana dan populer saja. Akan tetapi pemenang Pemilukada adalah calon yang benar-benar dikenal masyarakat, mengerti masalah yang dihadapi masyarakat dan memilki program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian pembangunan Kabupaten Pemalang lima tahun kedepan akan sesuai dengan keinginan masyarakat, semoga.
.

Share >>>

ADA APA DENGAN HASYIM MUZADI?

Jumat, 01 Mei 2009

Ada yang aneh dari pernyataan KH. Hasyim Muzadi di Ponpes Langitan (Sabtu petang, 25/4). Pasalnya pernyataan yang disampaikan didepan wartawan melenceng dari Pedoman Berpolitik Warga NU yang dirilis oleh PBNU. Hasyim mengungkapkan bahwa “Nahdliyin harus memilih presiden Indonesia yang mau berjuang dan berdakwah untuk Islam”. Pernyataan yang mungkin “menyakitkan” bagi saudara kita penganut agama lain, karena mereka masih dianggap warga negara kelas dua. Tidak pantas pula kiranya pernyataan tersebut keluar dari Ketua Konsorsium Agama-agama Dunia dan Perdamaian

Terlebih jika kita mengamati perkembangan politik sekarang, siapa calon presiden yang siap berjuang dan berdakwah untuk Islam? Bukankah presiden sekarang tidak bisa mencegah besan-nya untuk tidak korupsi. Padahal komitmen presiden adalah memberantas korupsi yang selama ini menyebabkan bangsa ini terus melarat dan susah maju. Dari sekian banyak penduduk Indonesia yang melarat tentu saja sebagian besarnya adalah umat Islam. Artinya capres-capres tersebut tidak belum ada yang terbukti mampu “berjuang” untuk Islam. Lantas apakah yang dikehendaki oleh Hasyim umat Islam Indonesia harus golput dalam Pilpres mendatang?
Ketidak laziman selanjutnya adalah “ketakutan” Hasyim Muzadi terhadap pemikiran kumpulan anak-anak muda yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Bahkan menurutnya pemikiran JIL telah terkontaminasi oleh pemikiran sekuler barat, serta bisa jadi lebih berbahaya dibandingkan orang kafir. Menurutnya lagi perusakan aqidah Islam selalu muncul di Indonesia akibat dari sikap pemerintah yang tidak serius menumpas aliran-aliran tersebut. Seolah-olah yang menjaga keberlangsungan dan mengajarkan agama selama ini adalah pemerintah, bukan para Kyai dan para pemuka masing-masing agama. Begitu percayanya kah Hasyim dengan pemerintah?
Sejatinya keyakinan masyarakat terhadap sebuah aliran keagmaan atau kepercayaan adalah wilayah privasi yang tidak boleh diganggu oleh siapapun termasuk negara. Konstitusi Indonesia pun menjamin kebebasan rakyatnya untuk berkeyakinan. Ketakutan hasyim terhadap JIL dan aliran-aliran yang dianggapnya sesat adalah bentuk pengakuan kelemahannya mengelola sebuah organisasi Islam terbesar di dunia. Para kyai sudah tercerai-berai akibat kepentingan politik yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Pondok dan para santri sering terbengkalai, karena sang kyai sibuk melakukan lobi-lobi politik. Terlebih lagi pasca Pemilu, banyak kyai memiliki kerjaan sampingan sebagai makelar massa. Dan ternyata kepengurusan PBNU dibawah Hasyim tidak bisa mengatasi kondisi demikian. Atau mungkin karena pengurus PB juga lupa dengan tanggungjawabnya terhadap jam’iyyah?
Apa pula kata dunia jika ketua PBNU sekaligus WCRP sudah menyarankan negara untuk “menumpas” aliran-aliran yang menurut Hasyim “sesat”? Dalam konteks perdamaian, bahasa mempunyai pengaruh yang signifikan bagi keberlangsungan perdamaian. Misalnya kata “tumpas atau menumpas” semestinya diganti dengan “membenahi, meluruskan atau mengajak kembali”. Dengan jabatan dan posisinya sebagai pemimpin organisasi keagamaan, Hasyim tidak layak mengeluarkan pernyataan demikian. Kalimat “menumpas aliran dan pemahaman keagamaan sesat” bisa juga ditafsirkan sebagai himbauan untuk “menumpas orang-orang yang mengikuti aliran dan meyakini pemahaman keagamaan sesat”. Karena keyakinan bagi seseorang harus dibela sekalipun nyawa taruhannya.

Dalam diskursus keagamaan, NU di bawah pimpinan Hasyim nampaknya tidak lagi berdiri di “tengah”. Wacana keagamaan yang dibangun semakin “ke-kanan-kanan-an” bahkan cenderung mendekati “Wahabi”. Ternyata Hasyim tidak secerdas dan sebijak Gus Dur, yang mampu menaungi sekaligus mengkomunikasikan pemikiran serta keinginan anak-anak muda dengan para sesepuhnya. Hasyim mestinya sadar bahwa anak-anak muda inilah nantinya yang akan menggantikan kepemimpinannya. Jika pemikiran-pemikiran bebas anak-anak muda sejak awal diberangus dan didakwa salah, kapan mereka tahu bagaimana yang benar. Bukankah pemikiran dan pemahaman mereka adalah jawaban atas situasi dan kondisi yang dirasakannya, yang tentu sangat jauh berbeda dengan tantangan jaman ketika Hasyim muda? Ada apa sebenarnya dengan Hasyim?
.

Share >>>

PEMILU UNTUK KEPENTINGAN SIAPA?

Minggu, 26 April 2009

Geger politik yang sedang berlangsung di Indonesia belakangan ini sedikit banyak memberi gambaran bagaimana sebenarnya watak para politisi serta kemana bangsa ini akan dibawa mereka. Hal ini bisa diruntut sejak konflik penetapan partai peserta Pemilu 2009. Jumlah partai peserta Pemilu yang lebih banyak dari jumlah partai Pemilu 2004 mengisyaratkan semakin besarnya “kehendak berkuasa” para politisi. Jika boleh menjustifikasi pikiran politisi, “kalau kesempatan dari partai lama tidak ada mengapa tidak buat yang baru?”
Setelah pro dan kontra jumlah partai, perubahan cara mencoblos menjadi mencontreng tidak lepas dari perdebatan menjelang Pemilu 2009. Banyak pihak, dengan berbagai alasan menyangsikan perubahan cara memilih akan sukses. Hingga salah seorang ketua partai menyerukan pada pendukungnya agar tetap mencoblos, bukan mencontreng. Bukanlah hal yang tanpa alasan jika salah seorang ketua partai melakukan itu, mengingat kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh KPU dan akan berakibat pada mubadzirnya suara pendukung partainya.
Sandiwara konflik politik pun kemudian berlanjut pada tahap penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Tidak hanya partai besar yang angkat bicara, yang kecil bahkan partai gurem pun tidak mau ketinggalan menyorotinya. Seolah mereka adalah pejuang hak rakyat yang paling idealis, tidak rela jika ada warga Indonesia yang tidak mendapatkan hak pilih. Padahal dari sekian banyak jumlah penduduk yang mereka bela hak pilihnya belum tentu pula memilih partai atau nyotreng nama mereka. Toh pada akhirnya politisi yang mempermasalahkan DPT tetap saja bertarung memperebutkan kursi dewan.
Lalu untuk apa bersikap sok idealis, berteriak keras di depan media jika cara yang digunakan politisi menjelang dan saat pemilihan masih menggunakan cara yang kotor? Tidak kurang bukti jika di lapangan para caleg membagikan uang. Termasuk caleg-caleg yang menarik kembali bantuan mereka, termasuk yang sudah diberikan pada tempat-tempat ibadah. Bukan hal yang berlebihan jika masyarakat mempertanyakan tingkat keimanan para politisi yang notabenenya adalah calon wakil masyarakat di parlemen. Ditambah lagi dengan banyaknya caleg stress karena tidak berhasil menduduki kursi dewan dan terpaksa harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa setidaknya menambah lembaran buram proses politik Indonesia.
Belum selesai dengan konflik-konflik tadi, petinggi-petinggi partai sudah menyibukkan diri mencari Calon Presiden dan Wakil Presiden. Hitung-hitungan perolehan suara partai dan figur yang akan diusung menjadi Capres dan Cawapres hampir setiap hari menghiasi wajah media massa dan elektronik. Bukan mustahil jika figur-figur pengisi jabatan menteri atau setingkat menteri sudah menjadi pembicaraan para elit politik negeri ini.

Membandingkan Pemilu 2009 dengan 1955

Secara teori, para pakar politik yang apatis terhadap proses politik telah memberikan rumus. Bahwa politik tidak lebih sebatas “Kepentingan siapa, mendapat apa dan bagaimana caranya”. Sebaik dan seburuk apapun proses politik di sebuah negara tentulah merupakan hasil perhitungan demikian. Terlebih lagi di Indonesia yang proses demokratisasinya masih seumur jagung jika dibandingkan dengan negara-negara maju di Eropa maupun Amerika. Tetapi apapun pendapat dan teori pakar-pakar politik tentang politik, nasib sebuah bangsa akan ditentukan oleh proses politiknya.
Menurut pandangan pengamat politik, Indonesia sebenarnya telah mengalami penurunan kualitas demokratisasi yang tajam jika membandingkannya dengan Pemilu tahun 1955. Bisa dibayangkan, sebuah negara yang baru berumur sepuluh tahun dengan segala keterbatasan teknologi telekomunikasi dan data mampu menyelenggarakan proses politik yang pertama sekaligus paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Jumlah partai lebih banyak dari Pemilu-pemilu setelahnya bukanlah persoalan yang fundamental. Partai politik peserta Pemilu 1955 juga menyerap segala aspirasi dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat. Mulai ideologi paling kanan hingga ideologi kiri mentok memiliki peran dan kesempatan yang sama. Keterbatasan sarana dan prasarana pemilihan hingga DPT tidak dijadikan isu untuk menggugat panitia penyelenggara maupun keabsahan hasilnya. Kondisi yang berbeda dengan Pemilu 2009 yang memakai kecanggihan teknologi informasi, pendataan hingga sarana dan pra sarana penunjangnya.
Ada beberapa perbedaan mendasar jika membandingkan Pemilu 1955 dengan Pemilu 2009 yang lalu. Pertama, tujuan partai politik bukan menghasilkan wakil yang berkualitas, tetapi lebih menekankan pada kuantitas dan popularitas. Paling tidak menjamurnya caleg dari kalangan selebritas bisa dijadikan barometer. Bagaimana mungkin seorang artis yang selalu disibukkan dengan jadwal shooting bisa memahami harapan dan peliknya masalah sosial yang sedang terjadi di masyarakat.
Kedua, Pemilu tidak lagi dipahami sebagai proses politik untuk mengukuhkan kedaulatan rakyat. Melainkan hanya sekedar ajang perebutan kekuasaan semata untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Jika demikian adanya bukanlah kemakmuran yang akan dirasakan oleh rakyat, sebaliknya kemunduran dan perpecahan bangsa semakin parah yang disebabkan oleh tarik-menarik kepentingan penguasa dan pemodal-pemodal besar.
Ketiga, paradigma mencari sosok pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan rakyat berubah menjadi paradigma mencari penguasa yang sesuai dengan kepentingan konglomerat dan pejabat. Sifat dasar penguasa adalah ke-aku-an dengan cara menghegemoni cita-cita yang sedang dikuasainya agar sesuai dengan sang penguasa. Tidak pandang apakah data yang disajikan sesuai dengan kenyataan dilapangan atau tidak. Kebijakan yang berhasil dan diterima khalayak dengan berbagai cara diakui sebagai hasil inisiatifnya, bukan inisiatif bersama pihak-pihak dibelakangnya.
Saatnya kembali pada pandangan politik dasar, bahwa demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat serta untuk kepentingan rakyat dan bukan sebaliknya (penguasa). Mengutip pandangan mantan Presiden Soekarno, diatas kedaulatan presiden adalah kedaulatan rakyat, dan di atas segalanya adalah kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa.
.

Share >>>

PILKADA DAN ANCAMAN DEMOKRASI

Senin, 14 April 2008


Belakangan kita sering disuguhi kabar tentang konflik pasca Pilkada di berbagai daerah. Konflik pasca Pilkada ternyata tidak hanya terjadi antara Bupati atau Gubernur baru dengan calon lain yang gagal. Tetapi sudah membawa masyarakat yang tidak berkepentingan langsung, masuk ke dalam konflik tersebut. Parahnya lagi, konflik interest elit politik tersebut memakan korban serta mengakibatkan rusaknya berbagai fasilitas umum yang dibiayai oleh anggaran negara. Tak ayal anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah semakin besar, karena ditambah biaya perbaikan fasilitas-fasilitas umum yang menjadi sasaran konflik.
Dari sini kita bisa menilai, bahwa politik atau kekuasaan memiliki daya pikat yang sangat besar terhadap masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan juga dengan jumlah anggaran yang dikeluarkan oleh seorang calon Bupati dalam sebuah Pilkada. Konon anggaran yang disiapkan seorang kandidat Bupati bisa mencapai angka 10 milyar. Sedangkan anggaran yang dipersiapkan untuk memenangkan Pilgub (Pemilihan gubernur), tinggal dikalikan dengan jumlah Kabupaten yang ada di wilayah propinsi tersebut. Sehingga bisa jadi penyebab utama terjadinya konflik pasca Pilkada adalah faktor besarnya anggaran yang dikeluarkan seorang calon. Alhasil gugat menggugat hasil Pilkada dan intitusi KPU pun seakan menjadi agenda rutin.
Jawa Tengah nampaknya ada tren baru, propinsi yang sedang mempersiapkan diri menghadapi hajatan politik (Pilgub) pada tanggal 22 Juni 2008 mendatang. Tren baru tersebut adalah maraknya operasi penertiban gambar calon-calon gubernur di beberapa Kabupaten dan Kota. Dengan berbagai alasan, pemerintah daerah setempat tidak ingin ada “hiasan baru” berdesakan di wilayahnya. Kebijakan ini berbeda dengan kebijakan pada saat Pilkada berlangsung di daerah tersebut. Sudut-sudut kota penuh dengan gambar para calon Bupati atau Wali Kota, termasuk gambar mereka yang mengeluarkan kebijakan penertiban.
Pilkada dan Pilgub memang akrab dengan ketidakjelasan peraturan, kesemrawutan, money politic, hingga kerusuhan. Kondisi demikian nampaknya memunculkan pemikiran untuk menggunakan kembali sistem lama. Dimana Bupati dan Gubernur dipilih oleh wakil rakyat yang duduk di legislatif. Selain hemat biaya, sistem lama dianggap bisa mengurangi pengeluaran pemerintah atau digunakan untuk program lain. Sistem lama pun seolah memberikan rasa aman, sekaligus mengurangi kerja-kerja lapangan melelahkan yang jarang dilakukan oleh bupati atau gebernur dengan biaya pribadi.

Menyempurnakan Sistem Pilihan langsung
Sistem lama sepintas memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat dan pemerintah. Akan tetapi jika kita amati, penggunaan sistem lama merupakan indikasi kemunduran proses demokratisasi di Indonesia. Sejarah lama akan terulang, dimana rakyat kembali dipimpin oleh figur yang tidak mereka kenal. Elit politik terutama yang duduk di legislatif akan mendapat “jatah lebih” dari para calon kepala daerah. Politik kembali lagi menjadi urusan kalangan elit dimana rakyat tidak perlu tahu.
Selain itu, Partai politik akan kehilangan fungsinya dalam memberikan pendidikan politik pada konstituennya dan kembali menjadi sekedar mesin pendulang suara lima tahunan. Padahal semestinya partai politik dan anggota partai di legislatif tidak hanya bertugas mensukseskan partai dan anggotanya saja. Fungsi lain yang lebih penting adalah menjadi corong aspirasi konstiuen dan masyarakat pada kebijakan pemerintah, memberikan pendidikan politik, sekaligus mengawasi jalannya pembangunan. Walau pada kenyataannya di Indonesia, kerja partai politik belum optimal dalam menjalankan fungsi-fungsi partai. Akan tetapi, pilihan kembali pada sistem lama tentu saja akan memotong seluruh fungsi partai politik tersebut.
Sistem lama pun tidak memberikan jaminan Bupati atau Gebernur merupakan orang yang bersih dan mengerti kondisi rakyatnya. Tidak ada jaminan pula yang terpilih KKN-nya lebih sedikit dibandingkan pilihan masyarakat langsung. Bahkan bisa jadi sebaliknya, karena ia merasa pertanggungjawabannya hanya pada legislatif saja. Incumbent bisa dengan mudah terpilih kembali asalkan memiliki banyak uang dan tawar menawar di tingkat fraksi selesai. Faktor popularitas dan kepercayaan publik tidak akan menjadi bahan pertimbangan dalam memilih pemimpin daerah. Setidaknya kekurangan-kekurangan inilah yang kita rasakan semasa menggunakan sistem lama.
Politik memang sering berubah bentuk, dari sebuah sarana mewujudkan “kondisi terbaik” bagi seluruh rakyat, menjadi hanya sekedar pertarungan memperebutkan kekayaan, kekuasaan dan jabatan. Sisi gelap dari sebuah proses politik, yang tentu saja kita rasakan keberadaannya sekarang. Dalam konteks ini tindakan yang mestinya dilakukan adalah memperbaiki sistem dan mekanisme politik yang sedang berjalan di Indonesia.
Untuk sampai ke arah itu, pemerintah bisa memulainya dengan transparansi anggaran yang dipersiapkan oleh seorang calon, sebagaimana yang dilakukan Amerika Serikat. Seluruh masyarakat Amerika bisa mengakses informasi mengenai jumlah kekayaan, dana yang dipersiapkan dalam pemilihan, dari mana asalnya, siapa yang menyumbang, bahkan berapa jumlah hutang sang calon. Dari sini kemudian dapat diprediksi arah kebijakan pembangunan yang akan diambil calon jika terpilih menjadi pemimpin.
Masyarakat bisa menentukan pilihannya sejak awal dari informasi anggaran sang calon yang dapat mereka akses. Hal ini tentunya tidak untuk melancarkan money politic di masyarakat. Melainkan sebagai sarana mengetahui siapa para penyumbang dana para kandidat. Ini untuk menghindari aliran dana dari orang-orang “bermasalah”. Sistem demikian setidaknya bisa menjadi upaya pencegahan terhadap tindakan korupsi dan kolusi sejak dini.
Berbeda dengan Indonesia, calon-calon enggan memberikan informasi berkaitan dana yang mereka siapkan dan siapa donaturnya. Sehingga para calon dengan mudah menampung “dana-dana tidak halal” dari orang-orang bermasalah, dan tentunya dengan “kompensasi yang tidak halal” pula. Konsekuensinya kebijakan pemerintah akan memihak pada kalangan elit, orang-orang bermasalah dan jauh dari kepentingan rakyat. Belum lagi jika para donaturnya terjerat kasus hukum. Hal ini tidak saja menyita perhatian sang Bupati atau Gubernur, tetapi juga ikut menyita anggaran daerah.
Pilkada, Pilgub dan Pilpres secara langsung sejatinya bisa menjawab dan menjamin kedaulatan rakyat atas negara. Amanat reformasi sudah tercakup dalam sistem pemilihan langsung. Akan tetapi kita mesti waspada, karena kedaulatan rakyat bisa saja direnggut oleh sistem yang kita anggap paling demokrastis ini. Perbaikan sistem dan mekanisme Pilkada langsung mutlak perlu dilakukan, agar Indonesia tidak kembali pada sistem politik yang elitis. Karena sistem pemerintahan yang demokrasitis harus dipahami sebagai sistem yang berasal dari rakyat, diatur menurut kehendak rakyat dan digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat.

Belakangan kita sering disuguhi kabar tentang konflik pasca Pilkada di berbagai daerah. Konflik pasca Pilkada ternyata tidak hanya terjadi antara Bupati atau Gubernur baru dengan calon lain yang gagal. Tetapi sudah membawa masyarakat yang tidak berkepentingan langsung, masuk ke dalam konflik tersebut. Parahnya lagi, konflik interest elit politik tersebut memakan korban serta mengakibatkan rusaknya berbagai fasilitas umum yang dibiayai oleh anggaran negara. Tak ayal anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah semakin besar, karena ditambah biaya perbaikan fasilitas-fasilitas umum yang menjadi sasaran konflik.

Share >>>

MAULID NABI DAN REVITALISASI AGAMA

Selasa, 18 Maret 2008


Pada tanggal 20 Maret nanti, umat Islam akan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau yang dikenal sebagai hari Maulid Nabi. Umat muslim di Indonesia memiliki banyak tradsi untuk menyambutnya. Seperti lazim dilakukan masyarakat di pulau Jawa adalah membaca kitab al Barzanji, atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan bezanjen. Tradisi ini biasanya dilakukan selama tujuh malam mejelang hari Maulid.
Sementara pada level masyarakat yang lebih mampu, mengadakan pengajian akbar. Biasanya panitia pengajian akbar akan mengundang da’i kondang dari dalam maupun luar kota. Para da’i akan diminta menjelaskan kejadian-kejadian (mu’jizat) seputar kelahiran serta nilai positif dari sejarah kehidupan Nabi. Nilai-nilai positif yang dapat ditangkap da’i, kemudian dikomparasikan dengan kehidupan masyarakat modern saat ini.
Harus diakui bahwa pengajian Maulid Nabi memiliki fungsi strategis sebagai media untuk memasyarakatkan sejarah dan ajaran Nabi. Di samping didengarkan oleh banyak orang, pengajian adalah cara belajar yang mudah bagi masyarakat dari pada membaca kitabnya. Selain itu, budaya mendengarkan lebih diminati masyarakat Indonesia dibandingkan budaya membaca. Walaupun ada kelemahan mendasar dalam metode belajar yang menekankan pendengaran, masyarakat menjadi miskin penafsiran.
Sebagai sebuah metode dakwah, pengajian temporer Maulid Nabi tentu ada kelemahan dan kelebihan. Tinggal bagaimana mengemas pengajian agar sejarah kehidupan Nabi dipahami sebagai substansi perjuangan dalam agama, bukan formalisasi agama sebagaimana dipahami sebagian masyarakat. Sebuah sistem (politik, sosial, ekonomi dan budaya) apapun, jika sesuai dengan substansi yang diperjuangkan agama maka layak dipertahankan.
Sejauh amatan penulis selama ini, muatan dalam pengajian Maulid Nabi lebih banyak mengajak pendengarnya bernostalgia dengan kehidupan harmonis yang berhasil diciptakan Nabi. Dan proses dakwah demikian akan menciptakan penilaian serba salah pada kehidupan sekarang. Masyarakat kemudian mengkultuskan kehidupan seperti pada masa Nabi hidup atau masa sesudahnya. Pada tingkat selanjutnya, masyarakat termotivasi kembali pada sistem yang berlaku pada masa Nabi dan sahabat.
Sayangnya, sebagian besar masyarakat tidak menyadari bahwa untuk kembali pada kehidupan seperti masa Nabi adalah mustahil. Karena seiring cepatnya arus teknologi, tantangan yang dihadapi masyarakat sekarang jauh lebih kompleks dari tantangan yang dihadapi Nabi. Selain itu, pasca Nabi, tidak ada orang atau kelompok yang memiliki otoritas hukum dalam bidang agama maupun bidang kehidupan lainnya seperti Nabi.
Masyarakat saat ini sedang mengalami keterasingan karena proses kehidupan yang semakin cepat dan terkotak-kotak, ketakutan pada kemungkinan kegagalan hidup dalam kejamnya persaingan ekonomi dan profesi. Masyarakat kemudian terjebak dalam sebuah formalisasi keagamaan belaka, yang tentu saja tidak bebas dari kepentingan kelompok elit. Atas nama agama, kepentingan sekelompok orang diakomodir pada tingkat yang lebih tinggi (negara).
Kondisi seperti ini pernah terjadi di Eropa sebelum renaisance dimana negara berkerjasama dengan agamawan untuk mengeksploitasi rakyat. Para agamawan dihegemoni oleh elit politik dalam kerangka hubungan fungsionalitas hingga agama kehilangan watak transformatif-nya. Sementara umat dibiarkan hidup di tengah-tengah kemiskinan sembari berharap kenikmatan di akhirat kelak.
Fakta itu tentu bertentangan dengan misi perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. Secara eksplisit dalam sejarah, yang senantiasa dibaca pada saat Maulid Nabi, disebutkan Nabi merupakan sosok yang sopan, mencintai dan berjuang bersama rakyat tertindas serta anti penindasan. Nabi pun disucikan dari sifat-sifat biadab masyarakat Arab jahiliyah, sebuah masyarakat yang tidak beradab, anarki, penindas dan tidak mau menerima perbedaan sehingga memicu perang saudara.
Sementara dalam konteks ekonomi, Nabi Muhammad menekankan pertumbuhan berjalan seimbang dengan pemerataan. Beliau tidak saja mengajarkan kepada umatnya agar memiliki etos kerja yang kuat, tetapi yang terpenting lagi adalah pemerataan ekonomi (zakat) agar kekayaan tidak hanya berputar pada segelintir orang saja. Sistem ekonomi yang hanya menekankan pertumbuhan saja, hanya akan memperbesar kesenjangan ekonomi masyarakat.
Tetapi pemahaman masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama sedang mengalami proses kemunduran. Pemahaman akan ekonomi Islam, misalnya, hanya sebatas mendirikan Bank Syari’ah atau Asuransi Syari’ah. Padahal menurut Asghar Ali Engeener, ekonomi Islam adalah perlawanan terhadap ekonomi kapitalistik yang selama ini menindas orang-orang miskin. Misi utama ekonomi Islam bukan sekedar gerakan simpati terhadap nasib orang miskin, biasanya dengan infaq, shodaqoh dan zakat. Tetapi merombak struktur yang timpang, menghisap, menindas dan tidak adil yang menjadi sumber kemiskinan.
Masyarakat yang lebih menekankan formalisasi agama dibandingkan substansi agama, disebabkan oleh reaksi para elit agama (religious elite) atas perubahan-perubahan yang terjadi di luar agama. Selama ini modernisasi yang diwakili peradaban Barat dan terbukti lebih maju Timur, oleh para elit agama, dianggap sebagai musuh. Ironisnya para elit agama tersebut sekaligus menjadi media promosi “murah” bagi produk-produk tersebut.
Semestinya tugas agama dan elitnya, adalah menanamkan nilai-nilai baru dan mengganti nilai-nilai yang bertantangan dengan ajaran-ajaran agama. Agama harus terlibat aktif dalam menetapkan sasaran pembangunan, metode dan sarana yang diperlukan, serta menetapkan orientasi pembangunan. Untuk menunjang itu, pemahaman agama harus ditempatkan dalam kerangka kemanusian (masalah kemiskinan, kerusakan lingkunga hidup dan ketidak adilan).
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah tulisan menyebutkan, bahwa Islam melekatkan kewajiban yang tidak ringan pada umatnya. Kawajiban itu ialah senantiasa konsisten dalam berpikir dan mencari pemecahan bagi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, kewajiban menjunjung tinggi tujuan utama kehidupan menurut Islam, menyediakan sarana untuk mencapai tujuan, serta bertanggungjawab dan jujur. Tujuan kehidupan menurut Islam tidak lain adalah berusaha maksimal mencari kemaslahatan, menjauhkan kerusakan dan menerapkan asas kerahmatan dalam seluruh kehidupan.
Semua kewajiban tersebut adalah konsekuensi dari pengakuan Islam terhadap manusia. Pertama, Islam menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk lain ciptaan-Nya. Kedua, manusia diberi penghargaan sebagai wakil Tuhan di bumi dan diberi kepercayaan untuk mengelolanya. Ketiga, manusia diberi modal dasar oleh Tuhan dan tidak diberikan pada makhluk lainnya.
Tujuan Islam tersebut yang seharusnya mendapat porsi lebih besar dalam tema-tema dakwah agama, tidak terkecuali Maulid Nabi. Ulama, salah satu elit pemimpin dalam masyarakat dan diyakini sebagai “para pewaris Nabi”, mestinya mulai mengkampanyekan dan bergerak muwujudkan tujuan agama. Dengan melaksanakan kewajiban tersebut secara kontiniu dan integral, masalah-masalah yang ada di masyarakat saat ini dan masa depan dapat diselesaikan

Pada tanggal 20 Maret nanti, umat Islam akan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau yang dikenal sebagai hari Maulid Nabi. Umat muslim di Indonesia memiliki banyak tradsi untuk menyambutnya. Seperti lazim dilakukan masyarakat di pulau Jawa adalah membaca kitab al Barzanji, atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan bezanjen. Tradisi ini biasanya dilakukan selama tujuh malam mejelang hari Maulid.

Share >>>